- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
FEATURED POST
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
NILAI NILAI UTAMA KARAKTER INTEGRITAS
(KEJUJURAN DAN AMANAH)
Pendidikan Karakter dan Spiritual Islam
Dosen : Prof. Dr. H. Maragustam, MA
PROGRAM INTERDISCIPLINARY ISLAMIC STUDIES
PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM
NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2017
BAB I
PENDAHULUAN
Spiritualitas
merupakan sebuah pandangan pribadi maupun perilaku yang mengekspresikan
ketertarikan, bertujuan untuk memenuhi tujuan hidup untuk menuju kesadaran
tertinggi pada dimensi transendental (Yang Maha Tinggi) sehingga lebih memaknai
arti dan tujuan dalam kehidupannya. Kesadaran akan ketertarikan bahwa segala
hal yang dialami dalam kehidupan diletakkan pada dimensi transendental
tertinggi. Berkarakter adalah karakter yang beriman kepada Allah SWT,
bertawakkal kepada-Nya dan memohon pertolongan kepada-Nya di setiap waktu dalam
kehidupan. Sehingga spiritual keagamaan merupakan inti dari hati nurani moral.
Hati nurani moral ini merupakan kekuatan ruhaniyah yang memberikan semangat
pada seseorang untuk berbuat terpuji dan menghalangi seseorang berperilaku tuna
karakter. Hati nurani moral yang berlandaskan dimensi transendental tertinggi
ini atau yang disebut sebagai iman akan memberikan dampak terhadap tindakan –
tindakan seseorang berupa norma – norma dan tanggung jawab moral. [1]
Akhlak pribadi
seorang mukmin ditemukan dalam Al-Quran surat As-Shaff ayat 14 yang menyeru
pada kaum mukmin supaya berakhlak jujur dan menyiapkan diri untuk menjadi
penolong dan melaksanakan amanah yang artinya : “Hai
orang-orang yang beriman, jadilah kamu penolong (agama) Allah sebagaimana Isa
ibnu Maryam telah berkata kepada pengikut-pengikutnya yang setia:
"Siapakah yang akan menjadi penolong-penolongku (untuk menegakkan agama)
Allah?" Pengikut-pengikut yang setia itu berkata: "Kamilah
penolong-penolong agama Allah", lalu segolongan dari Bani Israil beriman
dan segolongan lain kafir; maka Kami berikan kekuatan kepada orang-orang yang
beriman terhadap musuh-musuh mereka, lalu mereka menjadi orang-orang yang
menang.”[2]
Seseorang yang
menjiwai spritual keagamaan dapat menjadi kekuatan bagi seseorang tersebut
untuk tidak berkemauan berbuat jahat sehingga tetap melakukan yang terbaik
sesuai dengan nilai – nilai yang berakar kuat dalam diri seseorang tersebut.
Oleh karena itu, nilai – nilai spritualitas keagamaan harus terus menerus
diberdayakan sehingga suara batin seseorang menjadi kuat dan tahan uji
menghadapi pergeseran nilai di era global ini. [3]
Mengasah
nilai- nilai spiritulitas keagamaan dalam batin dan terpatri dalam jiwa
mengontrol seorang menusia untuk mengendalikan hawa nafsunya yang mana manusia
tidak mampu lagi memahami akal budinya.[4] Segala
sesuatu yang menyangkut tentang kebenaran tidak akan terbangun dengan
sendirinya tanpa melibatkan nilai – nilai yang telah terpatri dalam jiwa karena
manusia tersebut berkarakter. Kebenaran yang dipilih tersebut akan membentuk
karakter – karakter yang lebih spesifik. Karakter spesifik tersebut menurut
Character Counts terdiri atas enam pilar yaitu integritas (kejujuran dan
amanah), rasa hormat, tanggung jawab, keadilan, kepedulian dan nasionalis.
Karakter integritas (kejujuran dan amanah) yang akan dibahas dalam makalah ini.
[5]
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN
MANUSIA BERKARAKTER SPIRITUALITAS KEAGAMAAN DAN INTEGRITAS (JUJUR DAN AMANAH)
Menurut Thomas
Lickona karakter merupakan mengetahui kebaikan, menginginkan kebaikan dan
melakukan segala sesuatu yang baik sehingga karakter dapat dipahami sebagai
sesuatu kebiasaan perilaku maupun sikap yang dimiliki oleh manusia berupa
kebaikan meskipun ketika tidak ada seorang pun yang melihat kebaikannya. Nilai
kebaikan tersebut yang telah tertanam dan dijiwai oleh manusia sebagai sesuatu
hal yang berharga dalam dirinya akan menjadi sebuah karakter. [6] Karakter
merupakan nilai – nilai yang telah terpatri ke dalam diri manusia melalui
proses, pengalaman, pembiasaan, karena aturan, pengaruh lingkungan dan nilai –
nilai intrinsik dalam diri yang sudah ada saling melengkapi sehingga nilai –
nilai tersebut menjadi landasan manusia dalam berpikir maupun berperilaku.[7]
Selanjutnya, menurut
Penguin oleh Muhammad Yaumi mendefinisikan bahwa spiritualitas keagamaan
merupakan mengalami secara mendalam menuju keterarahan batin kepada Tuhan dalam
memaknai Ke-Tuhanan, diri sendiri, orang lain, dunia dan alam raya.
Spritualitas dapat dipahami sebagai sesuatu yang berkaitan atau berkenaan
dengan hakikat mengenai segala hal yang berhubungan dengan aktivitas mengolah
hati. Dengan mengolah hati maka spiritual dapat dirasakan karena mengasah aspek
– aspek batiniah manusia untuk mengenali, mengetahui dan memahami tentang
sesuatu.[8]
Sehingga manusia
berkarakter spiritualitas keagamaan merupakan manusia yang menelaah dan
memiliki nilai – nilai kebaikan yang terpatri dalam jiwa karena terbiasa
mengolah hati dengan cara mengasah aspek – aspek batiniah sehingga melekat pada
diri manusia tersebut dan menjadi kebiasaan yang direalisasikan dalam
kehidupan. Manusia berkarakter spiritulitas keagamaan memiliki pandangan
mengenai kebenaran yang merupakan perwujudan dari manusia yang berkarakter. [9]
Manusia yang
memiliki karakter spiritualitas keagamaan pada hakikatnya mengekspresikan
ketertarikan dan keterkaitan untuk menyandarkan kesadaran akan tujuan hidup
serta memaknai kehidupan pada dimensi transendental (Yang Maha Tinggi).
Karakter spiritulitas keagmaan yang dmiliki manusia inilah inti dari proses
mengolah rasa dan melibatkan hati nurani. Proses mengolah rasa dan melibatkan
hati nurani merupakan kekuatan secara ruhaniyah manusia untuk membuat manusia
melakukan sesuatu yang terpuji dan menghindarkan manusia dari moral yang buruk.
Sebelum manusia memilih, memutuskan dan melakukan perbuatan positif atau
negatif sesungguhnya dalam diri manusia ada yang disebut sebagai suara hati (conscience). Suara hati (conscience) yang akan menjadi daya
dorong maupun yang mengingatkan manusia untuk melakukan hal kebaikan atau hal
keburukan. [10]
B. NILAI
INTEGRITAS
Nilai Integritas merupakan suatu keutuhan dan kelengkapan
suatu moralitas karena nilai kebenaran. Olson membagi nilai integritas menjadi
tiga komponen yaitu :
(1) moral
discernment yaitu ketajaman moral. Ketajaman moral adalah suatu kemapuan
manusia untuk membedakan moral yang benar dan moral yang salah. Memiliki
kemampuan berupa ketajaman moral dengan cara mengasah serta merefleksi makna
moral yang baik dan moral yang buruk untuk diterapkan pada diri sendiri dan
orang lain. Bagi orang yang tidak beragama, moral baik maupun moral buruk
dilihat dari sisi kemanusian, sedangkan bagi orang yang beragama dilihat dari
keyakinan kepada Tuhan dan kebaikannya akan menghantarkan pada kebaikan abadi.
Ketajaman mora ini bagi orang yang memiliki spiritualitas keagamaan akan
melakukan dan melihat moral dari sisi kemanusian dan hubungan-Nya dengan Tuhan.
(2) consistent behaviour yaitu perilaku yang
konsisten. Perilaku yang konsisten merupakan kemampuan manusia untuk berbuat
dan bertindak secara berkesinambungan karena dasar keyakinan. Konsistensi
perilaku ini menggambarkan suatu integritas moral yang tinggi.
(3) public justification yaitu justifikasi
publik. Justifikasi publik merupakan penyebarluasan pemahaman tentang moral
yang baik dan moral yang buruk pada manusia yang lain. Justifikasi publik bukan
dimaksudkan untuk melakukan pencitraan
yang berlandaskan politik atau sekadar pamer telah melakukan kebaikan.
Justifikasi publik harus diarahkan pada pembangunan integritas moral sehingga
dapat menjadi suatu kesadaran publik secara bersama – sama. Sebagai konsekuensi
apabila seorang tokoh bertindak melampaui batasan – batasan moral yang telah
disepakati oleh publik secara bersama maka dengan sendirinya pengadilan moral
dijatuhkan pada tokoh tersebut. [11]
Integritas
merupakan perwujudan dari pribadi seseorang yang utuh dan bulat. Seorang
manusia dikaruniai anugerah oleh Allah SWT dengan berbagai potensinya (akal,
nafs atau nyawa, hati dan fisik yang kemudian dihidupi oleh ruh). Potensi yang
diberikan oleh Allah SWT yang diberikan pada manusia memberikan manusia untuk
bebas memilih dan melakukan tindakannya.
Seperti yang dijelaskan dalam hadis bahwa “setiap kamu adalah pemimpin
dan bertanggung jawab terhadap apa yang dipimpinnya”. Nilai amanah tersebut
telah tertanam dalam pribadi manusia karena anugerah yang diberikan oleh Allah
SWT. [12]
C. AMANAH
Amanah
merupakan sesuatu yang ada atau yang dimiliki adalah titipan dan akan
dipertanggungjawabkan kepada yang memberikan amanah sesuai dengan aturan dalam
penitipan tersebut. Amanah merupakan sesuatu yang dipercayakan. Nilai amanah
merupakan salah satu konsekuensi spiritualitas keagamaan. Seperti yang telah
diriwayatkan dalam hadis bahwa Allah mengamanatkan kepada manusia untuk
berfungsi sebagai hamba dan khalifah mengemban kepercayaan dengan jujur.
Seseorang yang mengemban amanat dengan kejujuran tidak hanya berdampak akan
disenangi oleh manusia lainnya namun juga mendapatkan keridhoan-Nya. Sekalipun manusia lainnya tidak mengetahui
bahwa diri yang diberikan amanah tidak mengemban amanah dengan baik namun dalam
dirinya telah terpatri nilai bahwa Allah SWT Maha Mengetahui dan membalasnya di
dunia maupun di akhirat. [13]
Amanah (trustworthy)
adalah bersikap jujur dalam menjalankan komitmen, tugas dan kewajiban. Amanah
berarti bersikap jujur dan tangguh dalam melakukan suatu hal yang telah
dikatakan, memiliki keberaian untuk melakukan sesuatu dengan kebenaran. Ketika
manusia diberikan kepercayaan oleh manusia lainnya dengan berbagai kelonggaran
dalam beberapa hal bahkan tanpa pemantauan dan tanpa pengontrolan yang ketat
dalam menjalankan suatu tugas kewajiban. Pada saat yang sama, usaha untuk
menyadari kepercayaan yang diberikan dengan penuh kesadaran sesuai dengan harapan
orang lain dan menahan diri dari segala
kebohongan kecil maupun keegoisan inilah karakter amanah dibutuhkan.
Karakteristik amanah dapat dilihat dari tidak membohongi, antara kata dan
perbuatan dilakukan sama, memiliki
keberanian melakukan kebenaran, setia dan berlaku jujur.[14]
D. KEJUJURAN
Jujur adalah perilaku yang didasarkan pada upaya
menjadikan diri sebagai seorang yang dapat dipercaya baik dalam perkataan,
tindakan maupun pekerjaan, baik terhadap diri sendiri maupun terhadap orang
lain.[15]
Kodsinco mengungkapkan hakikat kejujuran adalah mengatakan hal secara benar dan
mengatakan serta bertindak sesuai dengan yang dipikirkan.[16]
Jujur merujuk kepada karakter moral yang baik, positif,
mulia, penuh kebenaran, lurus, tiadanya kebohongan dan kecurangan. Pendidikan
kejujuran sangat penting dan harus diterapkan sedini mungkin. Di lingkungan
rumah tangga harus dapat mencontohkan kejujuran pada anak – anak. Dikarenakan
keluarga merupakan sekolah pertama bagi anak untuk dapat memahami kejujuran. Memberi
contoh kejujuran, memberikan pujian terhadap anak apabila anak telah berbuat
jujur meskipun kecil prestasi yang telah diraihnya tetap menghargai kejujuran
yang telah dilakukan. Selanjutnya adalah di sekolah, ciri – ciri anak berbut
jujur apabila : menyampaikan segala sesuatu dengan keadaan yang sebenarnya,
bersedia mengakui kesalahan maupun kekurangan diri, tidak melakukan perilaku
menyontek, tidak melakukan kebohongan dan tidak memanipulasi fakta yang
terjadi. Supaya kejujuran anak atau peserta didik dapat ditegakkan di sekolah
maka guru dapat membantu dengan membuat peraturan mengenai ketidakjujuran. Selanjutnya,
di lingkungan masyarakat dapat dicontohkan oleh pemimpin atau tokoh masyarakat
bahkan pihak pemerintah dalam menerapkan kejujuran dikarenakan kejujuran dapat
menciptakan keharmonisan dalam kehidupan masyarakat. Hal tersebut dapat
tercipta karena kejujuran maka satu sama lain orang saling dapat percaya. Dengan
adanya kejujuran di kalangan pemimpin atau tokoh masyarakat maka masyarakat pun
akan mengikuti. Dikarenakan di masyarakat seperti lingkaran, hal yang
dicontohkan oleh pemimpin maka akan dicontoh oleh masyarakat karena pemimpin
atau tokoh merupakan figur atau idola bagi masyarakat yang sebagai penerima informasi
atau pengamat kehidupan pemimpinnya. Begitu seterusnya hingga pada sistem
masyarakat yang terkecil apabila bangsa tidak jujur maka tidak akan ada
kepercayaan di antara kita (zero trust
society). [17]
E. ANALISIS
DAN PEMBAHASAN
Contoh amanah pada zaman Rasulullah SAW yaitu Pada zaman
dahulu Rasulullah SAW memimpin perang dengan tujuh ratus prajurit dari kaum Muslimin
dan menghadapi lawan yang jumlahnya lebih besar empat kali lipat. Rasulullah
SAW memipin di perang uhud membagi dan menempatkan penjaga – penjaga untuk
menghadapi lawan dan memukul mundur prajurit lawan. Rasulullah SAW menerangkan
kewajiban yang harus dilaksanakan pada masing – masing prajurit kaum Muslimin. Rasulullah
SAW memberikan perintah pada tiap – tiap penjagaan, bertahan di tempat yang
telah ditentukan oleh Rasulullah SAW dan tidak melakukan apapun sampai
mendapatkan perintah Rasulullah SAW. Atas pertolongan Allah SWT, prajurit dari
kaum Muslimin yang dipimpin oleh
Rasulullah SAW mendapatkan kemenangan. Prajurit kaum Muslimin berlari mengejar
prajurit dari pihak lawan. Sedangkan di pos penjagaan di celah belakang gunung
Uhud seorang prajurit berkata pada koordinatornya bahwa musuh telah kalah dan
mengajak untuk mengambil harta rampasan perang yang berada di bawah gunung
Uhud. Koordinator penjagaan berkata bahwa perintah – perintah telah jelas
diberikan oleh Rasulullah SAW untuk tidak meninggalkan pos penjagaan sampai ada
perintah selanjutnya dari Rasulullah SAW. Namun, karena alasan kemenangan
akhirnya prajurit keluar dari penjagaan dan akhirnya diketahui oleh lawan
sehingga prajurit kaum Muslimin yang menjaga pos penjagaan tercerai berai,
banyak yang meninggal dunia. [18]
Dari kejadian perang Uhud dapat dilihat bahwa peran
amanah dalam menjalankan komitmen, tugas
dan kewajiban. Para prajurit telah diberikan kewajiban dan kepercayaan oleh
Rasulullah SAW dan seharusnya ketika
diberikan kepercayaan dengan berbagai peluang kelonggaran dalam beberapa hal
bahkan tanpa pemantauan dan tanpa pengontrolan yang ketat para prajurit mampu
menjalankan kewajibannya. Namun, ketika peluang kelonggaran untuk berbuat
sesuatu hal tanpa perintah Rasulullah SAW pada saat yang sama, para prajurit
diberikan hal untuk menyadari kepercayaan yang diberikan Rasulullah SAW saat
itu dengan penuh kesadaran. Karena
keegoisan tanpa memperhatikan amanah dari Rasulullah SAW inilah yang
membuat pasukan kaum Muslimin yang akhirnya mengalami kekalahan. Oleh karena
itu, karakter amanah sangatlah dibutuhkan.
Selanjutnya, contoh dalam kejujuran adalah tentang
seorang penggembala kambing. Karena bosan dalam menggembalakan kambing, pada
suatu hari penggembala kambing berteriak,” ada serigala...ada serigala...”.
Kontan saja penduduk kampung keluar dari rumah masing – masing dengan membawa
peralatan untuk menolong penggembala kambing mengusir serigala. Setelah
penduduk kampung sampai di lokasi yang didapatkan oleh penduduk kampung adalah
si penggembala lambing yang tertawa terpingkal – pingkal, “horee.. tertipu...”
kata si penggembala kambing. Penduduk kampung pun kembali ke rumah masing – masing
dengan perasaan kesal. Penggembala kambing melakukan hal yang sama ketika bosan
dan selalu berteriak ada serigala yang ingin memakan kambingnya dan selalu ada
penduduk yang tertipu oleh si penggembala kambing. Begitupun seterusnya yang
dilakukan oleh si penggembala kambing. Akhirnya penduduk tidak ada lagi yang
mempercayai si penggembala kambing. Suatu hari si penggembala kambing
kedatangan serigala yang benar – benar ingin memangsa kambingnya. Meskipun
dengan cara berteriak si penggembala kambing meminta pertolongan penduduk tetap
saja tidak ada satupun penduduk menolong karena tidak ingin dibohongi. Oleh
karena perilakunya sendiri, si penggembala kambing celaka karena perilakunya.[19]
Pada cerita tersebut menunjukkan bahaya dari bertindak
dengan tidak jujur dan atas kesenangan sendiri. Melakukan ketidakjujuran dapat
meruntuhkan kepercayaan orang lain dikarenakan menyalahi kepercayaan tersebut. Ketidakjujuran
atau kebohongan dapat dipandang atau didefinisikan sebagai suatu hal yang
dilakukan untuk mengelabui atau memanipulasi kebenaran yang ada. Orang yang
dibohongi akan merasa ditikam apabila telah mengetahui yang diperhatikannya
selama ini adalah kebohongan sehingga orang lain akan dikatakan sebagai
seseorang yang selalu melakukan kebohongan dan tidak pernah berkata benar.
Kejujuran dalam suatu masyarakat dapat saja tidak diinginkan dengan alasan
menjaga diri (self-preservation).
Pada realitasnya di masyarakat bahwa di hadapan publik konsep kejujuran selalu
dianjurkan namun kenyataannya juga bahwa apabila melakukan kejujuran seringkali
dilarang bahkan dihukum apabila kejujuran dilakukan karena berkhianat ataupun
karena melakukan kejujuran yang dianggap melanggar kesopanan. Akan tetapi pada
dasarnya kejujuran secara alamiah sangatlah diperlukan sebagai bentuk
pengembangan diri sendiri bahkan masyarakat secara luas. Kejujuran yang paling
terpenting adalah proses menerapkannya dan tujuan digunakannya kejujuran
tersebut. Kejujuran yang berlandaskan hal positif akan membawa masyarakat
menjadi berkarakter lebih baik dalam menerima kejujuran sedangkan kejujuran
yang berlandaskan hal negatif akan membawa masyarakat pada hal negatif karena
menciptakan ketidakselarasan. Hal tersebut dikarenakan kejujuran memiliki makna
bahwa jujur adalah selaras antara sesuatu yang terjadi (berita) dengan
kenyataan yang ada. Apabila suatu berita disampaikan sesuai dengan keadaan yang
ada maka dapat dikatakan orang tersebut benar atau melakukan kejujuran sedngkan
berita yang disampaiakan tidak selaras dengan kenyataan maka dapat dikatakan
sebagai dusta. Kejujuran dilakukan selaras baik pada ucapan maupun perbuatan.[20]
F.
PENUTUP
Salah satu wali yang terkenal bagi orang Jawa adalah
Sunan Kalijaga. Di antaranya ajaran Sunan Kalijaga mengenai spiritualitas
keagamaan tentang integritas kejujuran dan amanah yaitu : “Aja seneng yen lagi darbe panguwasa, serik yen lagi ora darbe
panguwasa, jalaran kuwi bakal ana bebendune dhewe – dhewe. Aja mung kepengin
menang dhewe kang bisa marakake crahing negara lan bangsa, kudu seneng
rerembugan njaga katentreman lahir-batin. “ Terjemahan dari ajaran Sunan Kalijaga tersebut adalah
: “Jangan hanya senng kalau sedang mempunyai kekuasaan, sakit hati kalau sedang
tidak mempunyai kekuasaan, sebab hal itu akan ada akibatnya sendiri – sendiri.
Jangan hanya ingin menang sendiri yang dapat menyebabkan perpecahan negara dan
bangsa, melainkan harus senang bermusyawarah demi menjaga ketentraman
lahir-batin.”[21]
Oleh karena itu, menjadi pribadi yang memiliki
spiritulitas keagamaan dengan integritas kejujuran dan amanah memiliki
kepercayaan dan memegang kepercayaan orang lain yang melekat padanya. Oleh karena itu ketika seseorang memiliki pengaruh atau
dipercaya oleh orang lain haruslah menjaga kepercayaan yang diberikan dengan
berkata benar dan selaras antara perkataan maupun perbuatan.
G. DAFTAR
PUSTAKA
Ahmad. (1992).
Riwayat Hidup Rasulullah SAW. Bogor :
Yayasan Wisma Damai
Maragustam. (2016).
Filsafat Pendidikan Islam Menuju
Pembentukan Karakter Menghadapi Arus Global. Yogyakarta : Kurnia Kalam
Semesta
Mustari, M.
(2014). Nilai Karakter : refleksi untuk
pendidikan. Jakarta : Rajawali Press
Purwadi.
(2007). Dakwah Sunan Kalijaga :
Penyebaran Agama Islam di Jawa Berbasis Kultural. Yogyakarta : Pustaka
Pelajar
Syafri, Ulil Amri.
(2014). Pendidikan Karakter Berbasis
Al-Quran. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada
Yaumi, Muhammad.
(2014). Pendidikan Karakter : Landasan,
Pilar dan Implementasi. Jakarta: Kencana
[1]
Maragustam, Filsafat Pendidikan Islam Menuju Pembentukan Karakter Menghadapi Arus
Global (Yogyakarta : Kurnia Kalam Semesta, 2016). Hal 255 - 256
[2]
Syafri, Pendidikan Karakter Berbasis Al-Quran (Jakarta : PT Raja Grafindo
Persada).Hal 88
[3]
Ibid.....Hal 257
[4]
Purwadi, Dakwah Sunan Kalijaga :
Penyebaran Agama Islam di Jawa Berbasis Kultural (Yogyakarta : Pustaka Pelajar).Hal
132
[5]
Yaumi, M, Pendidikan Karakter :
Landasan, Pilar dan Implementasi (Jakarta : Kencana). Hal. 62
[6]
Yaumi, M, Pendidikan Karakter :
Landasan, Pilar dan Implementasi (Jakarta : Kencana). Hal. 6
[7]
Maragustam, Filsafat Pendidikan Islam Menuju Pembentukan Karakter Menghadapi Arus
Global (Yogyakarta : Kurnia Kalam Semesta, 2016). Hal 245
[8]
Ibid.....Hal 55-56
[9]
Yaumi, M, Pendidikan Karakter :
Landasan, Pilar dan Implementasi (Jakarta : Kencana). Hal. 62
[10]
Maragustam, Filsafat Pendidikan Islam Menuju Pembentukan Karakter Menghadapi Arus
Global (Yogyakarta : Kurnia Kalam Semesta, 2016). Hal 255
[11]
Yaumi, M, Pendidikan Karakter :
Landasan, Pilar dan Implementasi (Jakarta : Kencana). Hal 66
[12]
Maragustam, Filsafat Pendidikan Islam Menuju Pembentukan Karakter Menghadapi Arus
Global (Yogyakarta : Kurnia Kalam Semesta, 2016). Hal 258
[13]
Ibid... Hal 259
[14]
Yaumi, M, Pendidikan Karakter :
Landasan, Pilar dan Implementasi (Jakarta : Kencana). Hal. 68
[15]
Mustari, M, Nilai Karakter :
refleksi untuk pendidikan (Jakarta : Rajawali Press, 2014. Hal 11
[16]
Ibid...Hal. 64
[17]
Mustari, M, Nilai Karakter :
refleksi untuk pendidikan (Jakarta : Rajawali Press, 2014). Hal 15
[18]
Ahmad, HM, Riwayat Hidup Rasulullah
SAW (Bogor : Yayasan Wisma Damai, 1992). Hal 71
[19]
Mustari, M, Nilai Karakter :
refleksi untuk pendidikan (Jakarta : Rajawali Press, 2014). Hal 11
[20]
Mustari, M, Nilai Karakter :
refleksi untuk pendidikan (Jakarta : Rajawali Press, 2014). Hal 13
[21]
Purwadi, Dakwah Sunan Kalijaga :
Penyebaran Agama Islam di Jawa Berbasis Kultural (Yogyakarta : Pustaka
Pelajar).Hal 101
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Komentar
Posting Komentar