FEATURED POST

NILAI NILAI UTAMA KARAKTER INTEGRITAS (KEJUJURAN DAN AMANAH)

 


NILAI NILAI UTAMA KARAKTER INTEGRITAS

(KEJUJURAN DAN AMANAH)

Pendidikan Karakter dan Spiritual Islam

Dosen  : Prof. Dr. H. Maragustam, MA

 

 KONSENTRASI PSIKOLOGI PENDIDIKAN ISLAM

PROGRAM INTERDISCIPLINARY ISLAMIC STUDIES

PASCASARJANA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA

YOGYAKARTA

2017


 


BAB I

PENDAHULUAN

Spiritualitas merupakan sebuah pandangan pribadi maupun perilaku yang mengekspresikan ketertarikan, bertujuan untuk memenuhi tujuan hidup untuk menuju kesadaran tertinggi pada dimensi transendental (Yang Maha Tinggi) sehingga lebih memaknai arti dan tujuan dalam kehidupannya. Kesadaran akan ketertarikan bahwa segala hal yang dialami dalam kehidupan diletakkan pada dimensi transendental tertinggi. Berkarakter adalah karakter yang beriman kepada Allah SWT, bertawakkal kepada-Nya dan memohon pertolongan kepada-Nya di setiap waktu dalam kehidupan. Sehingga spiritual keagamaan merupakan inti dari hati nurani moral. Hati nurani moral ini merupakan kekuatan ruhaniyah yang memberikan semangat pada seseorang untuk berbuat terpuji dan menghalangi seseorang berperilaku tuna karakter. Hati nurani moral yang berlandaskan dimensi transendental tertinggi ini atau yang disebut sebagai iman akan memberikan dampak terhadap tindakan – tindakan seseorang berupa norma – norma dan tanggung jawab moral.  [1]

Akhlak pribadi seorang mukmin ditemukan dalam Al-Quran surat As-Shaff ayat 14 yang menyeru pada kaum mukmin supaya berakhlak jujur dan menyiapkan diri untuk menjadi penolong dan melaksanakan amanah yang artinya : “Hai orang-orang yang beriman, jadilah kamu penolong (agama) Allah sebagaimana Isa ibnu Maryam telah berkata kepada pengikut-pengikutnya yang setia: "Siapakah yang akan menjadi penolong-penolongku (untuk menegakkan agama) Allah?" Pengikut-pengikut yang setia itu berkata: "Kamilah penolong-penolong agama Allah", lalu segolongan dari Bani Israil beriman dan segolongan lain kafir; maka Kami berikan kekuatan kepada orang-orang yang beriman terhadap musuh-musuh mereka, lalu mereka menjadi orang-orang yang menang.”[2]

Seseorang yang menjiwai spritual keagamaan dapat menjadi kekuatan bagi seseorang tersebut untuk tidak berkemauan berbuat jahat sehingga tetap melakukan yang terbaik sesuai dengan nilai – nilai yang berakar kuat dalam diri seseorang tersebut. Oleh karena itu, nilai – nilai spritualitas keagamaan harus terus menerus diberdayakan sehingga suara batin seseorang menjadi kuat dan tahan uji menghadapi pergeseran nilai di era global ini. [3]

Mengasah nilai- nilai spiritulitas keagamaan dalam batin dan terpatri dalam jiwa mengontrol seorang menusia untuk mengendalikan hawa nafsunya yang mana manusia tidak mampu lagi memahami akal budinya.[4] Segala sesuatu yang menyangkut tentang kebenaran tidak akan terbangun dengan sendirinya tanpa melibatkan nilai – nilai yang telah terpatri dalam jiwa karena manusia tersebut berkarakter. Kebenaran yang dipilih tersebut akan membentuk karakter – karakter yang lebih spesifik. Karakter spesifik tersebut menurut Character Counts terdiri atas enam pilar yaitu integritas (kejujuran dan amanah), rasa hormat, tanggung jawab, keadilan, kepedulian dan nasionalis. Karakter integritas (kejujuran dan amanah) yang akan dibahas dalam makalah ini. [5]

 

 

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

 

A.  PENGERTIAN MANUSIA BERKARAKTER SPIRITUALITAS KEAGAMAAN DAN INTEGRITAS (JUJUR DAN AMANAH)

Menurut Thomas Lickona karakter merupakan mengetahui kebaikan, menginginkan kebaikan dan melakukan segala sesuatu yang baik sehingga karakter dapat dipahami sebagai sesuatu kebiasaan perilaku maupun sikap yang dimiliki oleh manusia berupa kebaikan meskipun ketika tidak ada seorang pun yang melihat kebaikannya. Nilai kebaikan tersebut yang telah tertanam dan dijiwai oleh manusia sebagai sesuatu hal yang berharga dalam dirinya akan menjadi sebuah karakter. [6] Karakter merupakan nilai – nilai yang telah terpatri ke dalam diri manusia melalui proses, pengalaman, pembiasaan, karena aturan, pengaruh lingkungan dan nilai – nilai intrinsik dalam diri yang sudah ada saling melengkapi sehingga nilai – nilai tersebut menjadi landasan manusia dalam berpikir maupun berperilaku.[7]

Selanjutnya, menurut Penguin oleh Muhammad Yaumi mendefinisikan bahwa spiritualitas keagamaan merupakan mengalami secara mendalam menuju keterarahan batin kepada Tuhan dalam memaknai Ke-Tuhanan, diri sendiri, orang lain, dunia dan alam raya. Spritualitas dapat dipahami sebagai sesuatu yang berkaitan atau berkenaan dengan hakikat mengenai segala hal yang berhubungan dengan aktivitas mengolah hati. Dengan mengolah hati maka spiritual dapat dirasakan karena mengasah aspek – aspek batiniah manusia untuk mengenali, mengetahui dan memahami tentang sesuatu.[8]

Sehingga manusia berkarakter spiritualitas keagamaan merupakan manusia yang menelaah dan memiliki nilai – nilai kebaikan yang terpatri dalam jiwa karena terbiasa mengolah hati dengan cara mengasah aspek – aspek batiniah sehingga melekat pada diri manusia tersebut dan menjadi kebiasaan yang direalisasikan dalam kehidupan. Manusia berkarakter spiritulitas keagamaan memiliki pandangan mengenai kebenaran yang merupakan perwujudan dari manusia yang berkarakter. [9]

Manusia yang memiliki karakter spiritualitas keagamaan pada hakikatnya mengekspresikan ketertarikan dan keterkaitan untuk menyandarkan kesadaran akan tujuan hidup serta memaknai kehidupan pada dimensi transendental (Yang Maha Tinggi). Karakter spiritulitas keagmaan yang dmiliki manusia inilah inti dari proses mengolah rasa dan melibatkan hati nurani. Proses mengolah rasa dan melibatkan hati nurani merupakan kekuatan secara ruhaniyah manusia untuk membuat manusia melakukan sesuatu yang terpuji dan menghindarkan manusia dari moral yang buruk. Sebelum manusia memilih, memutuskan dan melakukan perbuatan positif atau negatif sesungguhnya dalam diri manusia ada yang disebut sebagai suara hati (conscience). Suara hati (conscience) yang akan menjadi daya dorong maupun yang mengingatkan manusia untuk melakukan hal kebaikan atau hal keburukan. [10]

 

B.  NILAI INTEGRITAS

Nilai Integritas merupakan suatu keutuhan dan kelengkapan suatu moralitas karena nilai kebenaran. Olson membagi nilai integritas menjadi tiga komponen yaitu :       

(1) moral discernment yaitu ketajaman moral. Ketajaman moral adalah suatu kemapuan manusia untuk membedakan moral yang benar dan moral yang salah. Memiliki kemampuan berupa ketajaman moral dengan cara mengasah serta merefleksi makna moral yang baik dan moral yang buruk untuk diterapkan pada diri sendiri dan orang lain. Bagi orang yang tidak beragama, moral baik maupun moral buruk dilihat dari sisi kemanusian, sedangkan bagi orang yang beragama dilihat dari keyakinan kepada Tuhan dan kebaikannya akan menghantarkan pada kebaikan abadi. Ketajaman mora ini bagi orang yang memiliki spiritualitas keagamaan akan melakukan dan melihat moral dari sisi kemanusian dan hubungan-Nya dengan Tuhan.

(2) consistent behaviour yaitu perilaku yang konsisten. Perilaku yang konsisten merupakan kemampuan manusia untuk berbuat dan bertindak secara berkesinambungan karena dasar keyakinan. Konsistensi perilaku ini menggambarkan suatu integritas moral yang tinggi. 

(3) public justification yaitu justifikasi publik. Justifikasi publik merupakan penyebarluasan pemahaman tentang moral yang baik dan moral yang buruk pada manusia yang lain. Justifikasi publik bukan dimaksudkan  untuk melakukan pencitraan yang berlandaskan politik atau sekadar pamer telah melakukan kebaikan. Justifikasi publik harus diarahkan pada pembangunan integritas moral sehingga dapat menjadi suatu kesadaran publik secara bersama – sama. Sebagai konsekuensi apabila seorang tokoh bertindak melampaui batasan – batasan moral yang telah disepakati oleh publik secara bersama maka dengan sendirinya pengadilan moral dijatuhkan pada tokoh tersebut. [11]

Integritas merupakan perwujudan dari pribadi seseorang yang utuh dan bulat. Seorang manusia dikaruniai anugerah oleh Allah SWT dengan berbagai potensinya (akal, nafs atau nyawa, hati dan fisik yang kemudian dihidupi oleh ruh). Potensi yang diberikan oleh Allah SWT yang diberikan pada manusia memberikan manusia untuk bebas memilih dan melakukan tindakannya.  Seperti yang dijelaskan dalam hadis bahwa “setiap kamu adalah pemimpin dan bertanggung jawab terhadap apa yang dipimpinnya”. Nilai amanah tersebut telah tertanam dalam pribadi manusia karena anugerah yang diberikan oleh Allah SWT. [12]

 

C.  AMANAH

Amanah merupakan sesuatu yang ada atau yang dimiliki adalah titipan dan akan dipertanggungjawabkan kepada yang memberikan amanah sesuai dengan aturan dalam penitipan tersebut. Amanah merupakan sesuatu yang dipercayakan. Nilai amanah merupakan salah satu konsekuensi spiritualitas keagamaan. Seperti yang telah diriwayatkan dalam hadis bahwa Allah mengamanatkan kepada manusia untuk berfungsi sebagai hamba dan khalifah mengemban kepercayaan dengan jujur. Seseorang yang mengemban amanat dengan kejujuran tidak hanya berdampak akan disenangi oleh manusia lainnya namun juga mendapatkan keridhoan-Nya.  Sekalipun manusia lainnya tidak mengetahui bahwa diri yang diberikan amanah tidak mengemban amanah dengan baik namun dalam dirinya telah terpatri nilai bahwa Allah SWT Maha Mengetahui dan membalasnya di dunia maupun di akhirat. [13]

Amanah  (trustworthy) adalah bersikap jujur dalam menjalankan komitmen, tugas dan kewajiban. Amanah berarti bersikap jujur dan tangguh dalam melakukan suatu hal yang telah dikatakan, memiliki keberaian untuk melakukan sesuatu dengan kebenaran. Ketika manusia diberikan kepercayaan oleh manusia lainnya dengan berbagai kelonggaran dalam beberapa hal bahkan tanpa pemantauan dan tanpa pengontrolan yang ketat dalam menjalankan suatu tugas kewajiban. Pada saat yang sama, usaha untuk menyadari kepercayaan yang diberikan dengan penuh kesadaran sesuai dengan harapan orang lain dan menahan diri  dari segala kebohongan kecil maupun keegoisan inilah karakter amanah dibutuhkan. Karakteristik amanah dapat dilihat dari tidak membohongi, antara kata dan perbuatan dilakukan sama,  memiliki keberanian melakukan kebenaran, setia dan berlaku jujur.[14]

 

D.  KEJUJURAN

Jujur adalah perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan diri sebagai seorang yang dapat dipercaya baik dalam perkataan, tindakan maupun pekerjaan, baik terhadap diri sendiri maupun terhadap orang lain.[15] Kodsinco mengungkapkan hakikat kejujuran adalah mengatakan hal secara benar dan mengatakan serta bertindak sesuai dengan yang dipikirkan.[16]

Jujur merujuk kepada karakter moral yang baik, positif, mulia, penuh kebenaran, lurus, tiadanya kebohongan dan kecurangan. Pendidikan kejujuran sangat penting dan harus diterapkan sedini mungkin. Di lingkungan rumah tangga harus dapat mencontohkan kejujuran pada anak – anak. Dikarenakan keluarga merupakan sekolah pertama bagi anak untuk dapat memahami kejujuran. Memberi contoh kejujuran, memberikan pujian terhadap anak apabila anak telah berbuat jujur meskipun kecil prestasi yang telah diraihnya tetap menghargai kejujuran yang telah dilakukan. Selanjutnya adalah di sekolah, ciri – ciri anak berbut jujur apabila : menyampaikan segala sesuatu dengan keadaan yang sebenarnya, bersedia mengakui kesalahan maupun kekurangan diri, tidak melakukan perilaku menyontek, tidak melakukan kebohongan dan tidak memanipulasi fakta yang terjadi. Supaya kejujuran anak atau peserta didik dapat ditegakkan di sekolah maka guru dapat membantu dengan membuat peraturan mengenai ketidakjujuran. Selanjutnya, di lingkungan masyarakat dapat dicontohkan oleh pemimpin atau tokoh masyarakat bahkan pihak pemerintah dalam menerapkan kejujuran dikarenakan kejujuran dapat menciptakan keharmonisan dalam kehidupan masyarakat. Hal tersebut dapat tercipta karena kejujuran maka satu sama lain orang saling dapat percaya. Dengan adanya kejujuran di kalangan pemimpin atau tokoh masyarakat maka masyarakat pun akan mengikuti. Dikarenakan di masyarakat seperti lingkaran, hal yang dicontohkan oleh pemimpin maka akan dicontoh oleh masyarakat karena pemimpin atau tokoh merupakan figur atau idola bagi masyarakat yang sebagai penerima informasi atau pengamat kehidupan pemimpinnya. Begitu seterusnya hingga pada sistem masyarakat yang terkecil apabila bangsa tidak jujur maka tidak akan ada kepercayaan di antara kita (zero trust society). [17]

 

E.  ANALISIS DAN PEMBAHASAN

Contoh amanah pada zaman Rasulullah SAW yaitu Pada zaman dahulu Rasulullah SAW memimpin perang dengan tujuh ratus prajurit dari kaum Muslimin dan menghadapi lawan yang jumlahnya lebih besar empat kali lipat. Rasulullah SAW memipin di perang uhud membagi dan menempatkan penjaga – penjaga untuk menghadapi lawan dan memukul mundur prajurit lawan. Rasulullah SAW menerangkan kewajiban yang harus dilaksanakan pada masing – masing prajurit kaum Muslimin. Rasulullah SAW memberikan perintah pada tiap – tiap penjagaan, bertahan di tempat yang telah ditentukan oleh Rasulullah SAW dan tidak melakukan apapun sampai mendapatkan perintah Rasulullah SAW. Atas pertolongan Allah SWT, prajurit dari kaum Muslimin yang  dipimpin oleh Rasulullah SAW mendapatkan kemenangan. Prajurit kaum Muslimin berlari mengejar prajurit dari pihak lawan. Sedangkan di pos penjagaan di celah belakang gunung Uhud seorang prajurit berkata pada koordinatornya bahwa musuh telah kalah dan mengajak untuk mengambil harta rampasan perang yang berada di bawah gunung Uhud. Koordinator penjagaan berkata bahwa perintah – perintah telah jelas diberikan oleh Rasulullah SAW untuk tidak meninggalkan pos penjagaan sampai ada perintah selanjutnya dari Rasulullah SAW. Namun, karena alasan kemenangan akhirnya prajurit keluar dari penjagaan dan akhirnya diketahui oleh lawan sehingga prajurit kaum Muslimin yang menjaga pos penjagaan tercerai berai, banyak yang meninggal dunia. [18]

Dari kejadian perang Uhud dapat dilihat bahwa peran amanah  dalam menjalankan komitmen, tugas dan kewajiban. Para prajurit telah diberikan kewajiban dan kepercayaan oleh Rasulullah SAW dan seharusnya  ketika diberikan kepercayaan dengan berbagai peluang kelonggaran dalam beberapa hal bahkan tanpa pemantauan dan tanpa pengontrolan yang ketat para prajurit mampu menjalankan kewajibannya. Namun, ketika peluang kelonggaran untuk berbuat sesuatu hal tanpa perintah Rasulullah SAW pada saat yang sama, para prajurit diberikan hal untuk menyadari kepercayaan yang diberikan Rasulullah SAW saat itu dengan penuh kesadaran. Karena  keegoisan tanpa memperhatikan amanah dari Rasulullah SAW inilah yang membuat pasukan kaum Muslimin yang akhirnya mengalami kekalahan. Oleh karena itu, karakter amanah sangatlah dibutuhkan.

Selanjutnya, contoh dalam kejujuran adalah tentang seorang penggembala kambing. Karena bosan dalam menggembalakan kambing, pada suatu hari penggembala kambing berteriak,” ada serigala...ada serigala...”. Kontan saja penduduk kampung keluar dari rumah masing – masing dengan membawa peralatan untuk menolong penggembala kambing mengusir serigala. Setelah penduduk kampung sampai di lokasi yang didapatkan oleh penduduk kampung adalah si penggembala lambing yang tertawa terpingkal – pingkal, “horee.. tertipu...” kata si penggembala kambing. Penduduk kampung pun kembali ke rumah masing – masing dengan perasaan kesal. Penggembala kambing melakukan hal yang sama ketika bosan dan selalu berteriak ada serigala yang ingin memakan kambingnya dan selalu ada penduduk yang tertipu oleh si penggembala kambing. Begitupun seterusnya yang dilakukan oleh si penggembala kambing. Akhirnya penduduk tidak ada lagi yang mempercayai si penggembala kambing. Suatu hari si penggembala kambing kedatangan serigala yang benar – benar ingin memangsa kambingnya. Meskipun dengan cara berteriak si penggembala kambing meminta pertolongan penduduk tetap saja tidak ada satupun penduduk menolong karena tidak ingin dibohongi. Oleh karena perilakunya sendiri, si penggembala kambing celaka karena perilakunya.[19]

Pada cerita tersebut menunjukkan bahaya dari bertindak dengan tidak jujur dan atas kesenangan sendiri. Melakukan ketidakjujuran dapat meruntuhkan kepercayaan orang lain dikarenakan menyalahi kepercayaan tersebut. Ketidakjujuran atau kebohongan dapat dipandang atau didefinisikan sebagai suatu hal yang dilakukan untuk mengelabui atau memanipulasi kebenaran yang ada. Orang yang dibohongi akan merasa ditikam apabila telah mengetahui yang diperhatikannya selama ini adalah kebohongan sehingga orang lain akan dikatakan sebagai seseorang yang selalu melakukan kebohongan dan tidak pernah berkata benar.

Kejujuran dalam suatu masyarakat  dapat saja tidak diinginkan dengan alasan menjaga diri (self-preservation). Pada realitasnya di masyarakat bahwa di hadapan publik konsep kejujuran selalu dianjurkan namun kenyataannya juga bahwa apabila melakukan kejujuran seringkali dilarang bahkan dihukum apabila kejujuran dilakukan karena berkhianat ataupun karena melakukan kejujuran yang dianggap melanggar kesopanan. Akan tetapi pada dasarnya kejujuran secara alamiah sangatlah diperlukan sebagai bentuk pengembangan diri sendiri bahkan masyarakat secara luas. Kejujuran yang paling terpenting adalah proses menerapkannya dan tujuan digunakannya kejujuran tersebut. Kejujuran yang berlandaskan hal positif akan membawa masyarakat menjadi berkarakter lebih baik dalam menerima kejujuran sedangkan kejujuran yang berlandaskan hal negatif akan membawa masyarakat pada hal negatif karena menciptakan ketidakselarasan. Hal tersebut dikarenakan kejujuran memiliki makna bahwa jujur adalah selaras antara sesuatu yang terjadi (berita) dengan kenyataan yang ada. Apabila suatu berita disampaikan sesuai dengan keadaan yang ada maka dapat dikatakan orang tersebut benar atau melakukan kejujuran sedngkan berita yang disampaiakan tidak selaras dengan kenyataan maka dapat dikatakan sebagai dusta. Kejujuran dilakukan selaras baik pada ucapan maupun perbuatan.[20]

 

F.   PENUTUP

Salah satu wali yang terkenal bagi orang Jawa adalah Sunan Kalijaga. Di antaranya ajaran Sunan Kalijaga mengenai spiritualitas keagamaan tentang integritas kejujuran dan amanah yaitu : “Aja seneng yen lagi darbe panguwasa, serik yen lagi ora darbe panguwasa, jalaran kuwi bakal ana bebendune dhewe – dhewe. Aja mung kepengin menang dhewe kang bisa marakake crahing negara lan bangsa, kudu seneng rerembugan njaga katentreman lahir-batin. “ Terjemahan dari ajaran Sunan Kalijaga tersebut adalah : “Jangan hanya senng kalau sedang mempunyai kekuasaan, sakit hati kalau sedang tidak mempunyai kekuasaan, sebab hal itu akan ada akibatnya sendiri – sendiri. Jangan hanya ingin menang sendiri yang dapat menyebabkan perpecahan negara dan bangsa, melainkan harus senang bermusyawarah demi menjaga ketentraman lahir-batin.”[21]

Oleh karena itu, menjadi pribadi yang memiliki spiritulitas keagamaan dengan integritas kejujuran dan amanah memiliki kepercayaan dan memegang kepercayaan orang lain yang melekat padanya. Oleh karena itu ketika seseorang memiliki pengaruh atau dipercaya oleh orang lain haruslah menjaga kepercayaan yang diberikan dengan berkata benar dan selaras antara perkataan maupun perbuatan.

 

G. DAFTAR PUSTAKA

Ahmad. (1992). Riwayat Hidup Rasulullah SAW. Bogor : Yayasan Wisma Damai

Maragustam. (2016). Filsafat Pendidikan Islam Menuju Pembentukan Karakter Menghadapi Arus Global. Yogyakarta : Kurnia Kalam Semesta

Mustari, M. (2014). Nilai Karakter : refleksi untuk pendidikan. Jakarta : Rajawali Press

Purwadi. (2007). Dakwah Sunan Kalijaga : Penyebaran Agama Islam di Jawa Berbasis Kultural. Yogyakarta : Pustaka Pelajar

Syafri, Ulil Amri. (2014). Pendidikan Karakter Berbasis Al-Quran. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada

Yaumi, Muhammad. (2014). Pendidikan Karakter : Landasan, Pilar dan Implementasi. Jakarta: Kencana

 



[1] Maragustam, Filsafat Pendidikan Islam Menuju Pembentukan Karakter Menghadapi Arus Global (Yogyakarta : Kurnia Kalam Semesta, 2016). Hal 255 - 256

[2] Syafri, Pendidikan Karakter Berbasis Al-Quran (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada).Hal 88

[3] Ibid.....Hal 257

[4] Purwadi, Dakwah Sunan Kalijaga : Penyebaran Agama Islam di Jawa Berbasis Kultural (Yogyakarta : Pustaka Pelajar).Hal 132

[5] Yaumi, M, Pendidikan Karakter : Landasan, Pilar dan Implementasi (Jakarta : Kencana). Hal. 62

[6] Yaumi, M, Pendidikan Karakter : Landasan, Pilar dan Implementasi (Jakarta : Kencana). Hal. 6

[7] Maragustam, Filsafat Pendidikan Islam Menuju Pembentukan Karakter Menghadapi Arus Global (Yogyakarta : Kurnia Kalam Semesta, 2016). Hal 245

[8] Ibid.....Hal 55-56

[9] Yaumi, M, Pendidikan Karakter : Landasan, Pilar dan Implementasi (Jakarta : Kencana). Hal. 62

[10] Maragustam, Filsafat Pendidikan Islam Menuju Pembentukan Karakter Menghadapi Arus Global (Yogyakarta : Kurnia Kalam Semesta, 2016). Hal 255

[11] Yaumi, M, Pendidikan Karakter : Landasan, Pilar dan Implementasi (Jakarta : Kencana). Hal 66

[12] Maragustam, Filsafat Pendidikan Islam Menuju Pembentukan Karakter Menghadapi Arus Global (Yogyakarta : Kurnia Kalam Semesta, 2016). Hal 258

[13] Ibid... Hal 259

[14] Yaumi, M, Pendidikan Karakter : Landasan, Pilar dan Implementasi (Jakarta : Kencana). Hal. 68

[15] Mustari, M, Nilai Karakter : refleksi untuk pendidikan (Jakarta : Rajawali Press, 2014. Hal 11

[16] Ibid...Hal. 64

[17] Mustari, M, Nilai Karakter : refleksi untuk pendidikan (Jakarta : Rajawali Press, 2014). Hal 15

[18] Ahmad, HM, Riwayat Hidup Rasulullah SAW (Bogor : Yayasan Wisma Damai, 1992). Hal 71

[19] Mustari, M, Nilai Karakter : refleksi untuk pendidikan (Jakarta : Rajawali Press, 2014). Hal 11

[20] Mustari, M, Nilai Karakter : refleksi untuk pendidikan (Jakarta : Rajawali Press, 2014). Hal 13

[21] Purwadi, Dakwah Sunan Kalijaga : Penyebaran Agama Islam di Jawa Berbasis Kultural (Yogyakarta : Pustaka Pelajar).Hal 101

Komentar