FEATURED POST

ALIRAN – ALIRAN DALAM ILMU FIQIH (Psikologi Tasawuf)

 



ALIRAN – ALIRAN DALAM ILMU FIQIH

 

 

Disusun oleh   :

1.                  Adinar Fatimatuzzahro           (12710024)

2.                  Nur Hidayati                           (12710036)

3.                  Achmad Sirojuddin                (12710095)

 

 

 

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN HUMANIORA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA

DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

TAHUN 2013

 

BAB I

PENDAHULUAN

 

Aliran- aliran dalam hukum islam banyak perbedaan pendapat tentang hukum-hukum islam yang baru terjadi setelah Rasulullah SAW wafat, sebagai akibat perlunya penerapan nash-nash hukum yang telah ada, berupa Qur’an dan Hadist, terhadap peristiwa-peristiwa baru yang timbul dan memerlukan penentuan hukumnya. Perbedaan pendapat tersebut adalah suatu hal yang wajar karena keadaan mereka tidak sama tentang pengetahuan dan pemahaman terhadap nash-nash syari’ah dan tujuan-tujuannya, selain karena perbedaan tinjauan dan dasar-dasar pertimbangan dalam menganalisa sesuatu persoalan hukum. Karena adanya perbedaan pendapat tersebut, maka tiap-tiap pendapat diperkalikan kepada orang yang mengeluarkannya, supaya kedudukannya jelas, dan bisa mempertanggung jawabkannya. Pendapat-pendapat tersebut diakui oleh mereka sebagai hasil pertimbangan (dugaan) kuat dan dianggap benar oleh yang mempunyainya, oleh karena itu pendapat tersebut hanya menjadi pegangan bagi dia sendiri, dengan tidak mengikat bagi orang lain, karena seseorang tidak diharuskan berpegangan dengan pengetahuan orang lain. 

Contoh sikap toleransi dapat dilihat dari sikap Umar r.a. ketika bertemu dengan dua orang yang menceritakan kepadanya tentang keputusan Ali r.a. mengenai sengketa yang terjadi antara keduanya. Maka, kata Umar r.a. : “ Kalau sengketa tersebut dibawa kepada saya, tentu saya akan memberi keputusan lain” : maka kata kedua orang tersebut : “ apa keberatannya bagi tuan untuk memutuskan, sedang tuan adalah seorang khalifah ?” maka jawab Umar r.a. : “ Kalau saya menolak keputusan tersebut untuk saya putuskan berdasarkan Qur’an atau Hadist, tentu akan saya perbuat, tetapi putusan saya akan didasarkan kepada pendapat saya juga, sedang orang lain juga mempunyai pendapat.”

Pada waktu itu ijtihad dan fatwa dilakukan sekedar diperlukan untuk memberikan tuntunan kepada orang banyak, dengan tidak sampai memasuki persoalan-persoalan khayalan dan perkiraan semata-mata, dan dengan tidak ada maksud untuk mendirikan sesuatu aliran (mazhab) yang menjadi panutan orang banyak, melainkan dengan kesadaran untuk mentaati perintah agama dan menghindari dosa apabila menyimpan ilmu. Tiap-tiap orang yang mengeluarkan pendapat tidak dipandang lebih dari lainnya, melainkan masing-masingnya dianggap sebagai orang yang berhak mengeluarkan pendapatnya, atau dengan perkataan lain tiap-tiap orang bisa mempunyai aliran (mazhab).

Selama abad ke dua dan ke tiga hijriyah, banyak terdapat nama-nama para mujtahidin yang mempunyai pendapat dan aliran, dari kalangan sahabat atau tabi’in. Akan tetapi, keadaan mereka tidak sama sebab diantara mereka, ada mujtahidin-mujtahidin yang mempunyai kesempatan, bakat, dan kesenangan yang memungkinkan mereka mengabdikan hidupnya untuk memberikan pengajaran dan hukum-hukum islam dan menghadapi murid-muridnya. Kemudian murid-muridnya membukukan pendapat fatwa-fatwa dari mujtahidin tersebut untuk diwarisankan kepada angkatan berikutnya. Dengan usaha-usaha demikian, maka pendapat dan fatwa-fatwa tersebut mempunyai corak tersendiri dan pendukung-pendukungnya tertentu dan kemudian menjadi mazhab (aliran) yang berdiri sendiri. Pengamanan terhadap mazhab tersebut dilakukan dengan usaha mempelajari dan mendalaminya, dibela dan dimenangkan atas mazhab-mazhab lain, sehingga pada umumnya menimbulkan kefanatikan dan pendirian bahwa hanya mazhab yang dianutnya itu saja yang benar.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB II

ALIRAN – ALIRAN DALAM HUKUM ISLAM

 

1.      Mazhab Dhahiri

Pendiri dan tokoh pertama Mazhab Dhahiri adalah Dawud bin ‘Ali Al-Asfihani (wafat 270 H). Dan tokoh yang paling terkemuka setelahnya adalah Ibnu Hazm (wafat 456 H) yang meletakkan dasar-dasar mazhab tersebut diantaranya kitab “Al-Muhalla” dalam lapangan fikih dan kitab “Al-Ihkam fi Ushulil-Ahkam” dalam lapangan ushul fikih. Dasar-dasar mazhab dhahiri adalah lahir-lahir bunyi qur’an dan hadist. Apabila tidak ada nas, maka mengambil ijma, dengan syarat ijmanya seluruh umat. Oleh karena syarat ini tidak mungkin terwujud, maka mazhab tersebut seolah-olah menolak ijma. Qiyas dan sumber-sumber hukum lain yang dipakai oleh mazhab lainnya oleh mazhab Dhahiri tidak digunakan. Pada umumnya pendapat mazhab tersebut tidak banyak memberikan kelonggaran dan banyak sekali berlawanan pendapat junghur fuqaha, meskipun pada mulanya Dawud bin ‘Ali Al-Asfihani penganut mazhab Syafi’i. Pada abad kelima hijriyah mazhab dhahiri mengalami kemunduran dan abad kedelapan hijriyah mazhab dhahiri tersebut lenyap sama sekali, dan bekas-bekasnya hanya terdapat dalam kitab-kitab fikih.

 

2.      Mazhab Syi’ah

Orang-orang syi’ah adalah pembela dan pendukung khalifah Ali r.a. dan keturunan-keturunannya, mazhab syi’ah berpusat pada Al-Qur’an yang dipahamkan menurut dasar-dasar pendirian mereka dan menurut tafsiran-tarsiran yang diberikan imam-imamnya. Mazhab syi’ah juga menggunakan hadist sebagai hukum. Hadist pendirian yang sama-sama dimiliki oleh semua orang syi’ah ialah adanya imam-imam yang terus berganti sesudah wafatnya Ali r.a. Oleh karena tidak ada kesepakatan tentang penetapan imam-imam tersebut maka mereka terbagi menjadi beberapa golongan :

a.       Golongan Syi’ah Isma’iliyyah sudah keluar dari agama islam, karena kepercayaan dan ajaran-ajarannya yang telah melewati batas-batas kebenaran, kewajiban-kewajiban agama banyak yang dirubahnya dan diganti serta karena membagi al-qur’an kepada dua arti, yaitu arti lahi dan arti batin.

b.      Golongan Syi’ah Ja’fariyah ialah orang syi’ah yang mengaku Musa Al-Kazim (wafat 183 H) anak Ja’far As-Sadiq sebagai imam mereka dan tidak mengakui ismail anak Ja’far As-Sadiq juga yang dianggap menjadi imam golongan syi’ah isma’iliyyah. Golongan tersebut mempunyai mazhab fikih tersendiri dengan fuqaha dan mujtahidinnya yang tidak sedikit, dan yang telah mencapai kualitas yang tinggi dalam pembahasan aturan-aturan dasar fikih dan kesanggupannya untuk mengikuti perkembangan jaman. Dasar-dasar mazhab syi’ah ja’fariyah ialah Al-Qur’an, hadist, ijma, keturunan Ali r.a., pikiran dan pendapat imam-imam syi’ah. Pendapat-pendapat imam tersebut, mendapat kedudukan yang tinggi sekali, karena dianggap sebagai bagian dari hadist yang harus diterima tanpa ada pertimbangan pikiran untuk menerima atau menolaknya. Karena mereka terjamin dari kesalahan dan tidak berbeda dengan nabi kecuali dalam car-cara menerima wahyu, sebab nabi menerima wahyu dengan melalui malaikat jibril, sedangkan imam-imam penerima wahyu dalam bentuk ilham tanpa melalui malaikat jibril. Bagi selain imam-imam tidak boleh melakukan ijtihad, semasa hidup imam. Apabila imam tersebut tidak ada, maka orang lain boleh melakukan ijtihad tetapi dalam bentuk memperluas pengertian pendapat-pendapat imam tersebut, bukan dalam bentuk pengqiyasan.

c.       Golongan Syi’ah Zaidiyah. Golongan ini, yang mengangkat Zaid bin Ali-Zainal  Abidin bin Al-Husain (wafat 122 H). Menurut mereka, setiap orang keturunan Fatiman Az-Zahra yang zuhud, pemberani, dan bisa menjadi imam, maka ia adalah imam yang wajib ditaati. Diantara mazhab-mazhab Syi’ah maka pendapat-pendapat mazhab Zaidiyahlah yang lebih dekat kepada mazhab-mazhab suni (terutama mazhab hanafi). Boleh jadi, sebabnya adalah karena imam Abu Hanifa pada mulanya belajar pula pada imam Zaid. Fikih mereka didasarkan Al-quran, hadist, ijma, dan qiyas. Mereka juga memakai ijtihad bahkan berpendirian bahwa setiap masa tidak sepi dari mujtahid yang menyerukan perbaikan umat. Mazhab ini banyak tersebar di Yaman.

 

3.      Mazhab Hanafi

Berasal dari imam Abu Hanifah (wafat 150 H) beserta murid-muridnya sebagai perincian dan perluasan pikiran yang telah diletakan oleh mereka, merupakan hasil daripada iklim pemikiran Irak meskipun tidak terlepas dari pemikiran utama yang diterima dari sahabt-sahabat Ali r.a., Abu Musa Al-As’ari r.a. yang datang ke Irak sebagai guru atau sebagai penduduk negeri tersebut. Jadi, mazhab Hanafi memakai al-qur’an, hadist, dan fatwa sahabat. Berdasarkan riwayat-riwayat yang memakai juga ijma, qiyas, istihsan (maslahat mursalah) dan urf seperti yang terdapat dalam pembicaraan dalam mazhab hanafi. Dikalangan ulama-ulama hanafiyah yang memegangi dasar-dasar hukum yang sama juga terdapat perbedaan pendapat. Meskipun demikian tidak ada seorangpun dari murid-murid imam ibnu abu hanifah yang mau memisahkan diri dari gurunya untuk mendirikan mazhab sendiri seperti imam syafi’i. Mazhab hanafi merupakan mazhab yang paling berkuasa di Turki.

 

4.      Mazhab Maliki

Dipertalilkan kepada imam Malik sebagai pendirinya. Ia lahir dan hidup di kota madinah (93-179 H). Tiga hal yang menyebabkan mazhab maliki berbeda dengan mazhab hanafi :

a.       Pendapat-pendapatnya yang dibukukan oleh imam malik sendiri di kota kelahirannya dengan disertai alasan-alasannya. Dan dengan demikian maka kita dapat melihat denganjelas dasar-dasar mazhabnya seperti yang kita lihat dari kitabnya yang bernama Al-Muwattha.

b.      Mazhab maliki merupakan hasil karya penelitiannya. Sumbangan dari murid-muridnya hanya mengenai pendapat-pendapat yang tidak keluar dari dasar-dasar yang ditetapkan oleh imam malik. Lain halnya dengan mazhab hanafi yang merupakan hasil penelitian bersama dan pendapat dari berbagai fuqaha yang telah ikut serta membina mazhab tersebut.

c.        Mazhab maliki banyak sekali menerima pendapat (fikih) sahabat dan tabi’in. Keadaan ini tidak terdapat pada fikih mazhab hanafi.

Fatwa-fatwa imam malik didasarkan pada Al-Qur’an, hadist. Akan tetapi ia lebih mengutamakan penduduk Madinah atas hadis ahad jika terjadi perlawanan diantara keduanya. Hal ini disebabkan karena ia berpandirian bahwa penduduk madinah menerima perbuatannya tersebut dari angkatan sebelumnya sampai sahabat. Dan dengan demikian maka perbuatan penduduk madinah lebih kuat daripada hadist ahad. Sumber hukum lain bagi imam malik adalah Qiyas dan maslahat mursalah. Begitu kuatnya kedudukan maslahat mursalah sehingga ia bisa dipakai untuk membatasi lingkungan berlakunya ketentuan qur’an. Diantara murid-muridnya yang terkenal yaitu imam Syafi’i yang kemudian mendirikan mazhab sendiri, Ibnu Wahab yang menyiarkan mazhab maliki di Mesir. Selain itu, negeri Andalusia dan Sudan pada masa dulu juga memeluk mazhab maliki.

 

5.      Mazhab Syafi’i

Dipertalikan kepada imam Muhammad Bin Idris As-Syafi’i (wafat 204 H). Ia mula-mula belajar pada imam malik sampai imam malik meninggal dan ia memperoleh fikih negeri Hijas. Kemudian berkunjung ke Bagdad, sebagai kunjungan pertama dan beberapa kali sesudah itu menetap beberapa tahun di Bagdad. Ia bertemu Muhammad Bin Al-Hasan, murid imam abu hanifa serta penyiar mazhab imam hanafi dan bertemu pula dengan fuqaha-fuqaha Irak lainnya.

Dengan demikian ia memperoleh ilmu fikih di negeri Irak. Setelah membandingkan antara kedua macam fikih dan mengetahui segi-segi kelemahan dan kekuatan pada masing-masingnya (mazhab maliki dan hanafi), maka ia mengambil pendirian tengah-tengah yang dapat mengumpulkan segi-segi kebaikan dari dua fikih tersebut, disamping ia mengemukakan pendapat sendiri yang belum ada pemecahnnya pada kedua fikih tersebut. Karya imam Syafi’i yan terbesar adalah Kitab Al-Umm yang menjadi pegangan utama dalam mazhab syafi’i serta buku “Ar-Risalah” (ilmu ushul fikih).

Dasar-dasar mazhab syafi’i adalah Al-Qur’an dan Sunnah rasul yang shahih, hadist ahad, dan ijma. Kalau dari sumber tersebut tidak memberikan keterangan baru memakai pendapat sahabat. Jika tidak ada sahabat yang menentangnya. Apabila pendapat sahabat berbeda-beda maka pendapat sahabat yang lebih mendekati al-qur’an atau hadist dan dikuatkan oleh qiyas, itulah yang dipakai. As-Syafi’i memakai qiyas yaitu mempersamakan hukum sesuatu perkara atas perkara lain yang sudah ada hukumnya dalam al-qur’an dan hadist. Imam syafi’i aktif menyiarkan sendiri mazhabnya di irak dan di mesir kemudian dilanjutkan oleh murid-muridnya. Pada akhirnya mazhab tersebut dapat mendesak mazhab maliki dan mazhab hanafi. Bahkan negeri Mesir, Irak, negeri Syam, beberapa bagian negeri Yaman, Hijas, Asia Tengah, dan Indonesia merupakan mazhab yang berkuasa.

 

6.      Mazhab Hanbali

Pendirinya adalah imam Ahmad Bin Hanbal. Mula-mula ia adalah murid imam syafi’i, ketika imam syafi’i berada di Bagdad. Ia bukan hanya tokoh dalam iilmu fikih, tetapi juga menjadi ahli hadis yang telah memberikan sumbangannya dalam pengamanan hadist-hadist rasul SAW. Bahkan ia lebih banyak memberikan perhatiannya kepada hadist-hadist seperti dalam karyanya yang bernama Al-Musnat sehingga ia mengesampingkan fatwa-fatwa dan pendapat-pendapatnya dalam lapangan fikih. Bahkan ia melatrang orang lain untuk membukukannya karna fatwa dan pendapat tersebut tidak bersifat tetap dan boleh jadi di tariknya kembali. Dasar-dasar mazhab hanbali adalah  Al-Qur’an, As-Sunnah. Apabila tidak terdapat sunnah shahih, maka dicarinya dalam keputusan sahabat apabila tidak diperselisihkan. Apabila diperselisihkan maka dipilih pendapat sahabat yang mendekati al-qur’an dan hadist. Apabila dalam pendapat sahabat tidak didapati, maka dipakailah hadis-hadis mursal atas qiyas, karena hanya dalam keadaan terpaksa saja ia memakai qiyas, sedangkan keadaan terpaksa ia memakai qiyas. Baru setelah abad keempat hijriyah mazhab hambali dapat keluar dari negeri Irak. Dalam suatu persoalan terdapat riwayat yang berbeda-beda terkait mazhab hanbali, hal ini disebabkan karena jalan penyiaran mazhab hanbali ini (fikihnya) adalah lisan atau berupa hafalan semata-mata. Kitab terbesar dalam mazhab hanbali ialah Kitab al-Mughni, sunnah Ibnu Qudamah, al-Maqdisi.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB III

KESIMPULAN

Tentang sumber – sumber hukum dan cara – cara pengambilan hukum yang telah mengakibatkan adanya perbedaan pendapat, sehingga menimbulkan berbagai mazhab dalam hukum islam. Apabila perbedaan pendapat dari seseorang mujtahid dengan lainnya dalam satu persoalan atau lebih bisa dikatakan sebagai mazhab. Maka berarti bahwa tiap – tiap orang mujtahid mempunyai mazhab, bahkan orang yang mempunyai sesuatu pendapat juga dikatakan mempunyai mazhab. Dengan demikian maka mazhab-mazhab tidak terbatas jumlahnya. Pengertian tersebut adalah menurut bahasa semata – mata dan bukan dimaksudkan dalam pemakaian yang kita kenal pada masa sekarang dan yang sudah dipakai sejak berates – ratus tahun yang lalu.

Perbedaan pendapat yang ditimbulkan oleh perbedaan cara dalam pengambilan hukum, sumbernya adalah sama yaitu Al-Quran dan hadist. Hal ini terjadi karena adanya pemahaman berbeda terhadap ayat – ayat Al-Quran atau terhadap beberapa hadist atau hukum qiyas di kalangan orang – orang yang memakainya.

Jadi, kalau perbedaan pokok menjadi kriteria (cirri khas) mazhab, maka perbedaan – perbedaan pendapat yang terdapat antara empat mazhab sunni (hanafi,maliki,syaf’i dan hanbali) seharusnya tidak perlu menimbulkan mazhab – mazhab yang berdiri sendiri dan terpisah satu sama lain. Karena dasar – dasar pendapat dalam mazhab – mazhab tersebut sebenarnya sama dan perbedaan yang terjadi antara mereka hanya berpangkal pada pemahaman, pertimbangan, tinjauan dan cara – cara pengambilan hukum dari sumber – sumbernya.

Mengenai mazhab syi’ah (tentang imamiyah), maka perbedaannya dengan mazhab – mazhab yang lain berpangkal pada perbedaan pokok. Karena mazhab syi’ah tersebut mempunyai suatu dasar hukum yang tidak diakui oleh mazhab – mazhab yang lain, yaitu pendapat imam- imam mereka yang dianggap sebagai hujjah yang harus dipakai dan kedudukannya sama dengan sunnah, baik karena anggapan bahwa Nabi Muhammad SAW telah memberikan kepada imam – imam tersebut semua hukum yang diperlukan atau beranggapan bahwa para imam telah menerima wahyu yang berupa ilham tentang hukum – hukum yang pada mulanya belum perlu diterangkan serta para imam tersebut terbebas dari ma’sum (terjamin dari kesalahan).

DAFTAR PUSTAKA

 

Djatnika,Rachmad, Dkk.1986. Perkembangan Ilmu Fiqh Di Dunia Islam. Jakarta : Proyek Pembinaan Prasarana Dan Sarana Perguruan Tinggi Agama/IAIN Di Jakarta Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama RI

Fathurohman,Oman dan Zarkasji A.S.1994. Pengantar Ilmu Fiqh Ushul

Fiqh.Yogyakarta : Lembaga Studi Filsafat Islam

Rahiem, Husni.1992. Perkembangan Ilmu Fiqh Di Dunia Islam. Jakarta: Bumi Aksara

Hanafi A. 1995. Pengantar dan Sejarah Hukum Islam. Jakarta : Bulan Bintang

 

 

 

Komentar