FEATURED POST

EPISTIMOLOGI BARAT

 



EPISTIMOLOGI BARAT

Dosen : Dr. Muhammad Anis, MT.

 

 Mata Kuliah Filsafat Ilmu

Konsentrasi Psikologi Pendidikan Islam

Program Pascasarjana

Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta



 A.    EPISTIMOLOGI SEBAGAI FILSAFAT PENGETAHUAN

Aristoteles mengungkapkan bahwa pada dasarnya manusia secara kodrati adalah makhluk yang memiliki rasa ingin tahu, rasa kagum, ingin mengaktualisasikan karyanya. Manusia mengenal sesuatu dan meyakini tersebut sebagai benar. Berdasarkan hal inilah manusia mewujudkan eksistensinya sebagai makhluk yang selalu ingin berproses dan mengembangkan diri. [1]

Epistimologi cabang dari ilmu filsafat yang membahas tentang sumber dan kebenaran akan pengetahuan. Epistimologi membahas tentang “Apakah yang dimaksud dengan pengetahuan?, berasal darimanakah pengetahuan tersebut?, apakah yang merupakan sumber-sumber pengetahuan?, darimanakah pengetahuan disebut sebagai kebenaran?”. Beberapah hal tersebut yang menjadi pokok pembahasan dalam epistimologi.[2]

 

B.     KAJIAN TEORI

1.      PENGERTIAN EPISTIMOLOGI

Epistimologi berasal dari bahasa Yunani dan terdiri dari dua kata yaitu episteme yang memiliki arti pengetahuan dan logos yang memiliki arti ilmu. Sehingga epistimologi merupakan suatu ilmu mengenai pengetahuan atau filsafat pengetahuan. Menurut Susanto yang mengutip pernyataan Poedjiadi dalam bukunya Pembimbing ke Arah Alam Filsafat bahwa epistimologi merupakan cabang filsafat yang membahas mengenai pengetahuan. Beberapa hal yang dibahas dalam epistimologi antara lain : asal pengetahuan tersebut, bentuk maupun struktur, dinamika pengetahuan, validitas bahkan metodologi yang akan menjadikan pengetahuan untuk memberikan pemahaman pada manusia. Sedangkan pernyataan epistimologi menurut Harold H. Titus bahwa mengkaji epistimologi terdapat tiga hal penting yang harus dipahami yaitu : Pertama adalah asal sumber pengetahuan dan proses terjadinya kebenaran pengetahuan tersebut. Kedua, mengenai sifat kebenaran pengetahuan tersebut yaitu pengetahuan diperoleh dari dalam atau dari luar pikiran ketika diketahui dan ketiga, mengenai validitas kebenaran akan pengetahuan tersebut mengenai kebenaran dan kesalahan. [3]

 

2.      TENTANG PENGETAHUAN

Pembahasan mengenai epistimologi selalu berkaitan dengan terjadinya proses pengetahuan dan kebenarannya. Beberapa pendapat memperdebatkan asal terbentuknya pengetahuan. Pendapat tersebut sebagai berikut: pengetahuan diperoleh melalui pengalaman dalam kehidupan baik hal tersebut meruoakan pengalaman melalui pengalaman inderawi maupun pengalaman batiniah. Pendapat lain mengungkapkan bahwa pengetahuan ada meskipun tanpa pengalaman. Pengalaman artinya melakukan pengamatan secara keseluruhan yang telah disimpan dalam ingatan kemudian diterjemahkan oleh pikiran menjadi suatu harapan di masa depan sesuai dengan segala sesuatu yang telah terjadi di masa lalu. [4]

Jan Hendrik Rapar menuliskan bahwa pengetahuan dibagi menjadi tiga jenis yaitu pengetahuan biasa, pengetahuan ilmiah dan pengetahuan filsafati. Yang pertama, pengetahuan biasa. Pengetahuann biasa merupakan pengetahuan yang diperoleh oleh sistem indera manusia ketika beraktivitas sehai-hari. Pengetahuan biasa hanya melibatkan rasionalitas pengetahuan. Yang kedua, pengetahuan ilmiah. Pengetahuan ilmiah merupakan pengetahuan yang diperoleh dengan menggunakan metode ilmiah yang kepastian kebenarannya tercapai. Yang ketiga, pengetahuan filsafat. Pengetahuan filsafati merupakan pengetahuan yang berkaitan dengan hakikat atau esensi keseluruhan realitas yang menjadi pokok pembahasan berdasarkan rasionalitas dan pemahaman.[5]

 

3.      PERSPEKTIF EPISTIMOLOGI BARAT

Menurut Keith Lehrer terdapat tiga perspektif dalam epistimologi yang berada di Barat. Yang pertama, dogmatic epistimology merupakan pendekatan tradisional terhadap epistimologi. Kebenarannya diletakkan terlebih dahulu kemudian menggunakan epistimologinya. Yang kedua, critical epistimology. Pada perspektif ini, mempertanyakan terlebih dahulu keraguan asal pengetahuan apabila terbukti baru dijelaskan. Yang ketiga, scientific epistimology. Perspektif ini adalah pengetahuan harus dapat diukur dan diteliti.[6]

 

4.      ALIRAN – ALIRAN

a.      Aliran Empirisme

Empeirikos dalam bahasa Yunani merupakan pengalaman. Menurut aliran ini pengetahuan berasal dari pengalaman khususnya pengalaman inderawi. Contohnya, manusia mengetahui garam berasa asin dikarenakan manusia pernah mencicipinya. Tokohnya adalah John Locke yang memaparkan bahwa manusia bermula kosong dari pengetahuan dan karena pengalamanlah manusia dapat memperoleh pengetahuan.[7]

b.      Aliran Rasionalisme

Pada aliran rasionalisme, keampuan akal merupakan sumber dari pengetahuan. Pengetahuan dapat menjadi benar karena diukur oleh akal. Pengetahuan yang ditangkap oleh indera merangsang akal untuk bekerja dan menemukan pengetahuan. [8]

c.       Aliran Positivisme

Aliran positivisme merupakan aliran yang menjadi penyeimbang antara aliran emprisme dengan aliran rasionalisme. Menyeimbangkan kedua aliran tersebut. Aliran positivisme menggunakan eksperimen dan pengukuran-pengukuran untuk menemukan kebenaran pengetahuan. Salah satu tokohnya adalah August Comte. August Comte berpendapat bahwa indera merupakan hal yang penting dalam memperoleh pengetahuan dan harus dipertajam dengan menggunakan eksperimen. [9]

d.      Aliran Intuisionisme

Tokoh aliran ini adalah Henri Bergson yang mengungkapkan bahwa sistem indera manusia dan akal dalam mencerna kebenaran pengetahuan masih memiliki keterbatasan. Menurut Henri bahwa objek yang diamati dan dipertanyakan kebenarannya masih dapat mengalami perubahan-perubahan. Henri menjelaskan bahwa pengetahuan tidak pernah tetap dan selalu dapat berubah. Henri berpandangan bahwa manusia memiliki kemampuan tertinggi untuk memahami kebenaran pengetahuan yaitu intuisi. Intuisi merupakan hasil evolusi pemahaman tertinggi terhadap sesuatu. Intuisi memahami objek secara langsung tanpa harus menggunakan atau melibatkan proses berpikir. [10]

 

C.    ANALISIS TEORI (Berdasarkan Argumentasi Pemakalah)

Berdasarkan kajian teori mengenai epistimologi dapat dikatakan bahwa epistimologi merupakan filsafat pengetahuan dikarenakan epistimologi mengkaji mengenai asal usul pengetahuan hadir, epistimologi mengkaji tentang kebenaran sesuatu yang ada. Esensi dari kehadiran pengetahuan tersebut. Beberapa pandangan tentang kehadiran pengetahuan mendapat tanggapan dan pendapat dari beberapa tokoh. Tokoh- tokoh tersebut memiliki cara dan sudut pandang yang berbeda dalam memahami pengetahuan. Hal inilah yang dibahas dalam epistimologi. Kajian epistimologi dibahas dalam beberapa pandangan yaitu pandangan bahwa pengetahuan berasal dari pengalaman dan pengalaman tersebut diperoleh melalui proses observasi atau pengamatan mengenai segala sesuatu yang menjadi cikal bakal pengetahuan di masa yang akan datang. Proses pengamatan ini dapat dilakukan oleh sistem inderawi manusia, terdapat pula pandangan bahwa pengamatan dilakukan melalui pemikiran yang dapat diterima oleh akal manusia, pandangan selanjutnya bahwa kajian sumber pengetahuan harus dilakukan dengan penelitian atau eksperimen dan yang terakhir adalah pengetahuan dapat pula bersumber secara intuisi tanap melalui pengamatan inderawi terlebih dahulu.

Beberapa perbedaan pendapat berkembang seiring tumbuhnya berbagai aliran yang memahami tentang asal pengetahuan tersebut dan membahas mengenai kebenaran suatu pengetahuan. Beberapa pandangan dapat menyimpulkan bahwa apabila pengetahuan yang berasal dari inderawi dan intuisi maka hal tersebut mengesankan para tokohnya yang merevolusionerkan pengetahuan memiliki kesan atau subjektivitas yang tinggi. Karena pengetahuan yang diperleh berdasarkan pengalaman yang dimiliki masing – masing individu. Masing- masing individu memiliki pengalaman yang berbeda-beda.

Pendapat selanjutnya, dapat muncul dari pernyataan yang telah diungkapkan oleh aliran yang berpandangan bahwa pengetahuan hanya dapat dibenarkan apabila dapat diterima oleh akal. Padahal beberapa pengetahuan ada yang tidak dapat diterima dengan akal dan tidak hanya bersifat material. Beberapa pengetahuan  dapat berasal dan tidak dapat dipahami oleh akal semata. Kajian pengetahuan ini dapat disebut sebagai suddu sains yaitu kebenarannya dapat diterima namun secara akal atau rasio tidak dapat dibuktikan. Misalnya saja keberadaan pengetahuan yang bersumber dari dogma agama atau keTuhanan. Epistimologi Barat tidak menyangkut pautkan antara teologis dengan pengetahuan berasal. Berbeda dengan Epistimologi Islam misalnya yang membahas sampai pada tahap hal-hal metafisik. Selanjutnya adalah pengetahuan bersifat harus bisa diteliti dan diukur. Dapat menggunakan eksperimen dalam pengukurannya.

Berdasarkan kajian dari pandangan beberapa tokoh tersebut bahwa pengetahuan bermula dari usaha manusia untuk menumbuh kembangkan usaha pikiran untuk mencapai eksistensinya dengan cara mengaktualisasikan dirinya. Mengaktulisasikan diri dengan tetap memiliki dasar-dasar atau pedoman yang kokoh. Epistimologi sebagai suatu esensi untuk mempelajari pengetahuan merupakan sebuah bentuk ekspresi manusia dan usaha untuk menyelami serta memperdalam pengetahuan yang senantiasa akan terus berkembang dan mengalami perubahan. Epistimologi ini sebagai filsafat pengetahuan tetap dengan mempertimbangkan proses dan pengalaman sebagai hasil dari belajar di masa lalu untuk mewujudkan harapan di masa yang akan datang. Oleh karena itu, dibutuhkan kesadaran manusia untuk selalu mengevaluasi setiap pengetahuan dan mendalami referensi sebagai faktor yang mendukung proses asal usul pengetahuan.  

 

D.    KESIMPULAN

Berdasarkan kajian tentang Epistimologi Barat bahwa memahami pengetahuan dalam pandangan Barat masih terletak pada pembahasan yang bersifat tradisional maupun terukur yang belum mencapai pada tahapan pembahasan metafisik. Pembahasan Epistimologi Barat berorientasi pada pengetahuan yang material dan membutuhkan pemahaman yang berorientasi atau berkutat pada inteligensi (pikiran) guna mencapai eksistensialisme manusia. Namun, positifnya adalah epistimologi barat menyajikan objektifitas mengenai pengetahuan karena terdapat aliran yang menyatakan bahwa epistimologi di barat harus dapat diteliti dan terukur. Sehingga dapat dilihat dan diterima secara inderawi maupun secara akal karena terukur dan validitasnya jelas.

Oleh karena itu, pendapat mengenai berbagai perspektif atau aliran dalam memahami epistimologi pengetahuan sebagai filsafat pengetahuan barat adalah tidak secara radikal dalam memahaminya dikarenakan pengetahuan senantiasa mengalami perubahan dan pengembangan untuk lebih baik lagi. Kemungkinan terjadinya kolaborasi pengetahuan dari epistimologi barat dan epistimologi islam dapat menjadi perpaduan yang baik untuk lebih memahami pengetahuan kafrena manusia memiliki sisi spiritualitas untuk mencapai tingkat kebermaknaan dalam memahami pengetahuan dalam hidup dan kehidupan.

 

E.     DAFTAR PUSTAKA

Adib, M. (2011). Filsafat Ilmu : Ontologi, Epistimologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu Pengetahuan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Gallagher,K. (1994). Epistimologi Filsafat Pengetahuan. Kanisius

Susanto. (2011). Filsafat Ilmu: Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologis, Epistimologis, dan Aksiologis, 2011. Jakarta : Bumi Aksara

 



[1] Gallagher,K, Epistimologi Filsafat Pengetahuan, 1994, Kanisius, hlm. 16

[2] Susanto, Filsafat Ilmu: Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologis, Epistimologis, dan Aksiologis, 2011, Jakarta, Bumi Aksara, hlm. 135

[3] Ibid,....hlm. 136

[4] Susanto, Filsafat Ilmu: Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologis, Epistimologis, dan Aksiologis, 2011, Jakarta, Bumi Aksara, hlm. 137

[5] Ibid......, hlm. 138

[6] Adib, M, Filsafat Ilmu : Ontologi, Epistimologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu Pengetahuan, 2011, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, hlm. 76

[7] Susanto, Filsafat Ilmu: Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologis, Epistimologis, dan Aksiologis, 2011, Jakarta, Bumi Aksara, hlm. 141

[8] Ibid....,hlm. 141

[9] Ibid....., hlm. 141

[10] Susanto, Filsafat Ilmu: Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologis, Epistimologis, dan Aksiologis, 2011, Jakarta, Bumi Aksara, hlm. 142

Komentar