FEATURED POST

Peran Empati dan Konseling Kelompok Dalam Meningkatkan Asertivitas Bystander terhadap Perilaku Bullying di Sekolah




Peran Empati dan Konseling Kelompok Dalam Meningkatkan Asertivitas Bystander terhadap Perilaku Bullying di Sekolah

 

Adinar Fatimatuzzahro

Pascasarjana Psikologi Pendidikan Islam, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga

Email : zahroadin22@gmail.com

 

Intisari

 

Karya ilmiah ini bertujuan untuk mengetahui peran penting empati dan konseling kelompok dalam meningkatkan asertivitas bystander terhadap perilaku bullying di sekolah. Hal ini penting untuk untuk dikaji dikarenakan belum banyak peneliti yang mengkaji tentang keputusan yang diambil oleh bystander ketika peristiwa perilaku bullying terjadi di lingkungan sekolah. Bystander merupakan pengamat saat peristiwa bullying terjadi. Kenyataannya peran bystander dalam mencegah terjadinya intensitas perilaku bullying belum banyak digali karena menurut penelitian sebelumnya bystander cenderung hanya menjadi pengamat. Namun, dari sikap bystander inilah intensitas perilaku bullying akan meningkat apabila bystander tidak memiliki perilaku asertif sehingga empati dan konseling kelompok menjadi faktor penting yang dapat memicu peningkatan asertivitas bystander terhadap peristiwa perilaku bullying yang terjadi di sekolah. Dengan demikian, intensitas perilaku bullying dapat diminimalisir bahkan dicegah karena bystander memiliki sikap asertif terhadap terjadinya perilaku bullying di sekolah.  

 

Kata kunci : Empati, Konseling Kelompok, Asertivitas, Bystander, Perilaku Bullying

 

Abstract

This study aims to determine the influence of empathy and group counseling to improve the bystander assertiveness of bullying behavior in schools. This is important to examine because not many researchers have looked at the decisions taken by bystanders when bullying behavior occurs in school environments. Bystander is an observer when bullying occurs. In fact the role of bystanders in preventing the intensity of bullying behavior has not been much excavated because according to previous research bystander tends to be only observers. However, from this bystander attitude the intensity of bullying behavior will increase if bystander does not have assertive behavior so that empathy and group counseling becomes an important factor that can trigger the increase of bystander assertiveness to the behavior of bullying behavior that occurs in school. Thus, the intensity of bullying behavior can be minimized and even prevented because bystander has an assertive attitude toward the occurrence of bullying behavior in schools.

 

Keywords: Empathy, Group Counseling, Assertiveness, Bystander, Bullying Behavior

 

A.           Latar Belakang Masalah

Di Indonesia, kasus bullying di sekolah menduduki peringkat teratas pengaduan masyarakat ke Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) di sektor pendidikan dari 2011 sampai Agustus 2014, KPAI mencatat sekitar 25% pengaduan masalah bullying dari 1.480 kasus pengaduan di bidang pendidikan (Halimah dkk, 2015 : 129).

Berdasarkan bank data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Database korban bullying tahun 2013 sebanyak 96 kasus mengalami peningkatan di tahun 2014 sebanyak 159 kasus dan di tahun 2015 sebanyak 154 kasus sedangkan data sementara tahun 2016 sebanyak 81 kasus yang dialami oleh korban bullying. Selain mencantumkan kasus korban bullying, KPAI juga menyatakan dalam datanya tahun 2013 terdapat 63 kasus pelaku perilaku bullying di sekolah, meningkat setiap tahunnya menjadi 67 kasus di tahun 2014, tercatat sebanyak 93 kasus di tahun 2015 dan di tahun 2016 data KPAI menunjukkan 93 kasus. Kasus tersebut belum terhitung kasus-kasus perilaku bullying yang tidak dilaporkan pada KPAI.(bank data KPAI, diunduh 3 September 2017 pukul 17:06)

Dampak bullying yang diungkapkan oleh Olweus dalam karya Benitez & Fernando Justicia mengungkapkan bahwa korban bullying dapat mengalami turunnya prestasi akademik, masalah psikosomatik, kecemasan, depresi bahkan dapat mengarah pada kecenderungan untuk bunuh diri (Benitez dan Fernando, 2006 : 159).

Bahkan pelaku bullying yang melakukan tindakan bullying terhadap korban bullying apabila tidak mendapatkan penanganan segera dan telah terbiasa melakukan perilaku bullying berkecenderungan untuk terlibat dalam tindakan kekerasan bahkan perilaku negatif lainnya saat proses tumbuh kembangnya pada masa perkembangan remaja (Sari dkk, 2015: 2)

Beberapa tokoh seperti : Hawkins, Pepler, dan Craig dalam penelitian Halimah mengungkapkan bahwa intensitas perilaku bullying menjadi semakin meningkat dikarenakan adanya kehadiran orang lain yang menyaksikan peristiwa atau tindakan bullying dan berada di lokasi saat peristiwa terjadi. Kehadiran orang lain saat terjadi peristiwa bullying ini disebut sebagai bystander. Bystander menjadi faktor penguat yang berkecenderungan mampu meningkatkan perilaku bullying  pelaku bullying (Halimah dkk, 2015 :131).

Penelitian yang dilakukan oleh Robert Thornberg dan Tomas Jungert  dalam abstraknya menemukan bahwa bystander jarang melakukan suatu tindakan yang menunjukkan kepekaannya secara sosial seperti membela korban bullying. Penelitian terhadap tiga ratus empat puluh tujuh remaja di Swedia menunjukkan bahwa moral disengagement atau dipahami adanya peregangan moral karena hanya melihat peristiwa tersebut dan membiarkannya sangat berhubungan terhadap peningkatan intensitas perilaku bullying. Hal ini sangat tidak sesuai dengan nilai moral di masyarakat bahwa ketika bystander melihat peristiwa bullying seharusnya bertindak untuk menolong korban bullying namun bystander hanya menjadi pengamat saja (Thornberg dan Tomas , 2013 :475)

Oleh karena itu, penulis sangat tertarik untuk meneliti tentang asertivitas bystander dilihat dari peran berpengaruhnya empati dan konseling kelompok.

B.            Tujuan

Tujuan yang hendak dicapai oleh peneliti dari penelitian ini adalah untuk mengetahui tentang keterkaitan antara peran empati dan konseling berkelompok dalam meningkatkan asertivitas bystander terhadap perilaku bullying di sekolah.

C.           Manfaat

Karya ilmiah ini diharapkan mampu memberikan kontribusi pada perkembangan Ilmu Psikologi Pendidikan Islam, Ilmu Bimbingan Konseling dan ilmu terkait mengenai keterkaitan antara pengaruh empati dan bimbingan kelompok dalam meningkatkan asertivitas bystander terhadap perilaku bullying di sekolah. Hal ini dapat menjadi peluang penelitian pendukung tentang fenomena bullying yang sedang booming terjadi di dunia pendidikan saat ini. Selain itu, hasil penelitian ini dapat menjadi referensi bagi penelitian selanjutnya.

D.           Kajian Teori

1.      Empati

Empati merupakan suatu kebutuhan- kebutuhan yang tidak hanya memiliki kemampuan untuk mengenali perasaan orang lain, motivasi dan niat orang lain saja melainkan juga mampu untuk memprediksi dampak tindakan pada orang lain. Hal ini yang mampu memicu individu untuk melakukan suatu tindakan yang akan dilakukannya terhadap orang lain setelah individu tersebut mengerti dan memahami perasaan orang lain dan diwujudkan oleh individu mengenai cara mengungkapkan tindakan yang dilakukannya sebagai suatu tanggapan emosional yang bergejolak dalam dirinya sendiri (Cole-King dan Gilbert, 2011 : 29).

2.      Konseling Kelompok

Latipun mengatakan bahwa konseling kelompok (group counceling) merupakan salah satu bentuk konseling dengan memanfaatkan kelompok untuk membantu, memberikan umpan balik (feed back) serta pengalaman belajar terhadap individu lainnya dalam suatu kelompok (Latipun, 2011 : 147).

Menurut Mungin Edy Wibowo menyatakan bahwa bimbingan konseling kelompok adalah suatu kegiatan kelompok di mana pimpinan kelompok menyediakan informasi-informasi dan mengarahkan diskusi agar anggota kelompok menjadi lebih sosial atau untuk membantu anggota-anggota kelompok untuk mencapai tujuan-tujuan bersama (Wibowo, 2005 : 17)

3.      Asertivitas

Asertivitas merupakan individu yang memiliki kemampuan berinteraksi sosial bersama orang lain. Individu yang memiliki perilaku asertif memiliki kepercayaan diri menyampaikan segala sesuatu, mengaktulisasikan diri dengan berekspresi secara jujur, berani terbuka serta berani untuk bertanggung jawab (Syukri dan Zulkarnain, 2005 : 53).

4.      Bystander

Kehadiran orang lain saat terjadi peristiwa bullying ini disebut sebagai bystander. Bystander dapat menjadi faktor penguat perilaku bullying  pelaku bullying. Hal ini menguatkan intensitas perilaku bullying karena secara otomatis status sosial di kalangan sebaya dapat meningkatkan popularitas pelakunya sebagai individu yang memiliki pengaruh dan memiliki kekuatan yang berbeda daripada yang lainnya karena melakukan bullying (Halimah dkk, 2015 :131).

 

 

5.      Perilaku Bullying

Menurut Echols dan Shadily dalam Bahasa Inggris, bullying berasal dari kata bully artinya mengganggu orang yang lemah. Tradisi bullying sangat minim diperhatikan baik di kalangan para pendidik maupun para psikolog anak. Apabila dicermati dampak bullying sangat mempengaruhi perkembangan psikis anak sebagai peserta didik. Peserta didik yang menjadi korban bullying akan merasa rendah diri, cemas, takut, kecewa, sedih, dan putus asa, apabila hal ini tidak mendapatkan perhatian yang serius akan berdampak lebih fatal yaitu meningkatkan anak putus sekolah (Argiati, 2010 : 55).

E.            Analisis Kritis

Pengamat peristiwa bullying atau yang disebut sebagai bystander ketika terjadi peristiwa bullying saat pelaku bullying melakukan tindakan bullying akan cenderung menimbulkan intensitas tindakan bullying pelaku bullying meningkat, hal ini dikarenakan bystander sebagai pengamat peristiwa perilaku bullying akan segan untuk menghentikan perilaku pelaku bullying dan cenderung membiarkan perilaku bullying terjadi di sekolah (Halimah dkk, 2015 : 133).

Hal ini didukung oleh teori social facilitation oleh Hazel Markus bahwa kehadiran orang lain dapat mempengaruhi tindakan individu dikarenakan kehadiran orang lain merupakan suatu kondisi yang cukup memfasilitasi secara sosial. Menurut Hazel kehadiran orang lain dapat memberikan penguatan terhadap perilaku individu. Penguatan yang memberikan kekuatan ini dapat menimbulkan berbagai efek seperti : meningkatkan perilaku mencederai, merampas hak orang lain dengan tindakannya untuk perilaku yang cenderung negatif bahkan bisa cenderung pada perilaku positif dapat meningkat seperti  dalam memberikan pujan dan memberikan bantuan terhadap orang lain. Kehadiran orang lain inilah yang dapat menghasilkan social facilitation. Menurut penelitian Hazel Markus bahwa kehadiran orang lain memiliki peranan penting sebagai sumber rangsangan sosial bagi individu dalam berperilaku (Markus, 1978 :389)

Hal pendukung juga terdapat dalam teori social loafing yang diungkapkan oleh Richard Hildreth. Teori social loafing ini mendukung perilaku individu dalam lingkup proses sosial. Adanya kelompok yang lebih besar dapat mempengaruhi potensi tindakan individu karena ukuran kelompok sosial mempengaruhi usaha individu untuk melakukan suatu hal. Penelitian LatanΓ© pada tahun 1981 yang dijelaskan kembali oleh Richard Hildreth mengenai cara memahami social loafing adalah dengan memahami  dampak sosial.  Yang pertama, bahwa tindakan pada situasi tertentu tergantung pada penekanan sosial dan jumlah orang lain yang terlibat dalam suatu situasi tersebut. Kedua, dampak kekuatan individu dalam bertindak akan timbul apabila disertai jumlah peningkatan orang lain yang berada dalam lingkungan sosial tersebut. Ketiga, semakin banyak tindakan dan aksi sosial yang diinginkan maka akan mempengaruhi juga tindakan dan aksi sosial setiap individu. Memahami social loafing dapat dipahami dan dikaitkan dengan efek pengamat suatu perilaku tertentu. Pengamat perilaku tertentu hanya akan sedikit bertindak terhadap situasi tertentu dikarenakan individu sebagai pengamat akan merasa dibebaskan dari suatu tanggungjawab dan kemungkinan kecil akan memilih untuk mengambil tindakan lain bahkan mengabaikan. Kurangnya kesadaran, keberanian dan kesediaan individu untuk merealisasikan tindakannya pada siuasi tertentu memiliki alasan tersendiri yaitu dapat dikarenakan masing – masing individu yang menjadi pengamat situasi telah memandang bahwa orang lain kemungkinan yang akan melakukan suatu tindakan tertentu dalam situasi tertentu (Hildreth, 2015 : 2).

Berdasarkan teori social loafing tersebut peneliti memandang bahwa individu yang berada dalam situasi saat terjadinya peristiwa bullying di sekolah sebenarnya memiliki keinginan untuk membantu namun karena kurangnya kesadaran, keberanian, kesediaan diri dan memandang bahwa orang lain di sekitar lingkungan terjadinya situasi tersebutlah yang akan melakukan tindakan maka pengamat peritiwa bullying menjadi tidak melakukan suatu tindakan tertentu yang padahal memiliki keinginan untuk melakukan suatu tindakan. Saat terjadi peristiwa bullying bahwa melihat korban di-bully sebenarnya dapat memunculkan perasaan iba bahkan kasihan apalagi ketika korban berteriak karena ketakutan, panik dan bahkan sampai menangis. Namun karena tidak berani melawan atau melakukan tindakan untuk melakukan suatu pembenaran bahwa bullying tidak baik menjadi urung dilakukan untuk menghentikan tindakan bullying bahkan ada kecenderungan malah mengamati peristiwa bullyingnya (Sari dkk, 2015 : 3).

Hal ini menggambarkan bahwa sebenarnya pengamat peristiwa bullying atau bystander memiliki rasa iba dan kasihan terhadap korban namun karena tidak berani melawan atau bertindak untuk melakukan suatu pembenaran bahwa bullying tidak baik menjadi urung dilakukan. Hal ini menurut Syukri dan Zulkarnain tersebut tidak mampu berperilaku asertif. Menurut kedua tokoh tersebut perilaku asertif adalah individu lebih percaya diri menyampaikan segala sesuatu, mengaktulisasikan diri dengan berekspresi secara jujur, berani terbuka serta berani untuk bertanggung jawab terhadap tindakannya. (Syukri dan Zulkarnain, 2005 : 53).

Galassi dan Galassi mengungkapkan bahwa individu yang asertif akan mengusahakan untuk mempertahankan hak milik orang lain. Individu yang asertif akan mengungkapkan keinginannya maupun pendapatnya tanpa ada yang dibuat – buat maupun maksut untuk merugikan orang lain (Galassi dan Galassi, 1977 : 27).

Penelitian sebelumnya tentang bullying yang terjadi di sekolah - sekolah Inggris oleh Nicola Abbott dan Lindsey Cameron menemukan bahwa perilaku asertif memiliki hubungan dengan empati remaja. Penelitian ini menguji efek komunikasi remaja dalam suatu kelompok. Empati merupakan variabel yang potensial pada penelitian ini. Pada  855 subjek yang berusia 11-13 tahun ini, empati sangat berperan mempengaruhi remaja untuk berperilaku asertif. Peran empati pada penelitian ini memberikan keterbukaan pada bias budaya dan tindakan bullying yang seringkali terjadi dalam kelompok tersebut. Penelitian ini meneliti tentang bullying di sekolah- sekolah Inggris yang telah mencapai tingkat mengkhawatirkan. Intimidasi antar kelompok dan ras sangat tinggi dalam penemuan penelitian ini bahkan bystander hanya bisa menyaksikan karena takut terkena bully sehingga tidak melakukan suatu apapun meskipun dalam benak juga memiliki rasa iba atau kasihan (Abbott dan Lindsey, 2014 : 167).

Taufik dalam penelitian Fikrie bahwa hal yang dipikirkan dan dirasakan oleh bystander dipengaruhi oleh pemahaman secara intelektual yang dapat menjadikan individu memiliki kemampuan berempati. Apabila individu tidak mampu memahami hal yang dipikirkan dan dirasakan oleh orang lain maka individu tersebut memiliki kemampuan berempati yang rendah untuk terlibat membantu orang lain saat peristiwa bullying terjadi (Fikrie, 2016 : 163).

Howe pun menyatakan bahwa ketika individu mampu mengelola perasaan dan mengambil tindakan dalam kesulitan dan kesusahan orang lain maka individu tersebut memiliki kecenderungan berempati yang tinggi. Hal ini dikarenakan karena individu yang memiliki kecenderungan empati akan segera melakukan tindakan untuk membantu atau menolong orang lain yang sedang dalam kesulitan tersebut (Howe, 2015 : 125).

Selain itu, menggunakan pendekatan konseling berkelompok juga dapat meningkatkan asertivitas individu untuk melakukan suatu tindakan tertentu. Hal tersebut dikarenakan pendekatan konseling berkelompok memiliki tujuan yaitu mengembangkan kemampuan bersosialisasi seperti : kemampuan berpendapat, berbicara di hadapan umum, kemampuan menghargai orang lain, mampu mempertanggungjawabkan tindakannya, mengakrabkan individu satu dengan lainnya, membahas permasalahan dan memecahkan permasalahan tersebut demi kebaikan bersama serta mampu mengelola diri yaitu mengendalikan tindakan serta emosional diri (Prayitno, 1995 : 179).

Oleh karena itu, berdasarkan hasil kajian literatur di atas maka peneliti tertarik membuat karya ilmiah yang berjudul “Pengaruh Empati dan Konseling Kelompok Untuk Meningkatkan Asertivitas Bystander terhadap Perilaku Bullying di Sekolah”

F.            Kesimpulan

Berdasarkan hasil kajian literatur tersebut dapat disimpulkan bahwa empati dan konseling kelompok dapat berpengaruh meningkatkan asertivitas bystander terhadap perilaku bullying yang terjadi di lingkungan sekolah sehingga dalam hal ini menjadikan karya ilmiah ini penting untuk dikaji dan dilanjutkan sebagai suatu penelitian yang bekontribusi dalam dunia pendidikan khususnya karena memiliki dampak klinis terhadap perkembangan pada rentang kehidupan manusia.

 

 

G.           Daftar Pustaka

 

Abott, N & Lindsey Cameron. (2014). What Makes a Young Assertive Bystander? The Effect of Intergroup Contact, Empathy, Cultural Openess, and In-Group Bias on Assertive Bystander Intervention Intentions, Journal of Social Issues, Vol 70, No 1

 

Argiati, SHB. (2010). Studi Kasus Perilaku Bullying pada siswa SMA di Kota Yogyakarta. Jurnal Penelitian Bappeda Kota Yogyakarta, Vol 5

 

BenΓ­tez, J.L & Fernando Justicia. (2006). Bullying: Description And Analysis Of The Phenomenon (Dept. Of Developmental And Educational Psychology, University Of Granada, Electronic Journal of Research in Educational Psychology), Vol 4, No. 2

 

Cole-King, A. & Paul G. (2011). “Why Teach Compassion?” : Compassionate Care : The Theory And The Reality. Journal Of Holistic Healthcare. Vol 8, No 3, hal :29-37

 

Fikrie. (2016). Peran Empati dalam Perilaku Bullying, Seminar Asean 2nd Psychology & Humanity: Psychology Forum UMM

 

Galassi, M. D., & Galassi, J. P. (1977). Assess Yourself: How to be Your Own Person. New York: Human Sciences Press.

 

Halimah A, dkk. (2015). Persepsi pada Bystander terhadap Intensitas Bullying pada siswa SMP Fakultas Psikologi Universitas Negeri Makassar. Jurnal Psikologi, Vol. 42, No. 2

 

Hildreth, R.D. (2015). Strategies for Leaders to Counter Social Loafing Through The Use of Organizational Citizenship Behavior : A Literature Review, Journal The Compass, Vol 1, No 2

 

Howe, D. (2015). Empati, Makna dan Pentingnya. Yogyakarta : Pustaka Pelajar

 

Latipun (2011). Psikologi Eksperimen. Malang : Universitas Muhammadiyah Malang Press, 147

 

Markus, H. (1978). The Effect of Mere Presence on Social Facilitation : An Unobtrusive Test, Journal Of Experimental Social Psychology, Vol 14

                                       

Prayitno. (1995). Layanan Bimbingan dan Konseling Kelompok (Dasar dan Profil). Jakarta: Ghalia Indonesia

 

Sari H.N, Dkk. (2015). Pelatihan Meningkatkan Empati Melalui Psikoedukasi Kepada Pelaku Bullying Sebagai Upaya Untuk Mengurangi Bullying Di Sekolah Menengah Pertama. Jurnal Magister Psikologi Profesi, Fakultas Psikologi Universitas Padjajaran

 

Syukri, M.R & Zulkarnaen. (2005). Asertivitas dan Kreatifitas pada Karyawan yang Bekerja di Multi Level Marketing dalam Jurnal Psikologia Vol 1, No 2

 

Thornberg, R., & Jungert, T. (2013). Bystander Behavior In Bullying Situations: Basic Moral Sensitivity, Moral Disengagement, And Defender Self-Efficacy. Journal of Adolescence, Vol 3, No.36

 

Wibowo,E. (2005). Konseling Kelompok Perkembangan. Semarang: Unnes Press

 

 

                          Sumber internet :

http://bankdata.kpai.go.id/tabulasi-data/data-kasus-per-tahun/rincian-data-kasus-berdasarkan-klaster-perlindungan-anak-2011-2016 diakses pada 3 September 2017 pukul 17:06 WIB


Komentar