- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
FEATURED POST
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG MASALAH
DEPDIKNAS mengeluarkan program SMA Rintisan Bertaraf Internasional. Program
yang dicanangkan oleh DEPDIKNAS ini diharapkan mampu menerapkan azas-azas pembelajaran
aktif yang mengakses 5 pilar pendidikan meliputi religious awareness, learning to know, learning to do, learning to be, and
learning how to live together. Pembelajaran di RSMABI ini diharapkan mampu menerapkan
pembelajaran berbasis teknologi dan menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa
pengantar pada mata pelajaran (Arief, 2012).
Program dikarenakan globalisasi dan bahasa Inggris diposisikan
sebagai bahasa dunia lisan, bahasa universal sehingga sangat penting
ditekankan terutama di
bidang pendidikan. Bahasa Inggris merupakan persyaratan untuk pekerjaan dan
penting untuk memahami berbagai sumber pengetahuan. Sekolah adalah lembaga pembelajaran dan
media pembelajaran, dengan demikian hal terbaik untuk meningkatkan belajar adalah motivasi berupa semangat di kalangan siswa siswi. Untuk memenuhi kebutuhan dan tuntutan, siswa memerlukan pendekatan yang tepat dan harus memiliki
strategi belajar yang terbaik untuk memahami dan menguasai bahasa Inggris
karena bahasa Inggris juga digunakan sebagai bahasa pengantar mata pelajaran. Guru memainkan peran yang sangat penting
dalam memberikan iklim belajar dan memiliki pengaruh utama untuk menginspirasi siswa siswi untuk belajar bahasa melalui kesadaran pembelajar tersebut.
Evaluasi dan penelitian mengenai unsur-unsur internal siswa dan lingkungan pembelajaran yang mendukung dapat mendorong siswa siswi memperoleh motivasi melalui bimbingan dan pelajaran yang disediakan oleh guru-guru (Hadriana, Ismail dan Mahdum, 2013).
Pembelajaran dengan RSMABI yaitu SMA Negeri 3 Semarang ini juga diterapkan
pembelajaran berbasis teknologi dan menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa
pengantar pada mata pelajaran. Dikarenakan hal tersebut fenomena yang terjadi
di SMA Negeri 3 Semarang siswa diharuskan memiliki kemampuan dan menguasai mata
pelajaran khususnya dengan menggunakan bahasa Inggris. Tuntutan yang harus
dimiliki dan dikuasai oleh siswa dapat menimbulkan dampak negatif kepada siswa
yang salah satunya adalah kesulitan belajar untuk mata pelajaran fisika. Berdasarkan
observasi yang dilakukan oleh Meizuvan
Khoirul Arief, Langlang Handayani, Pratiwi Dwijananti pada tahun 2012 di
SMA Negeri 3 Semarang yang sudah menjalankan program RSBI nya selama 5 tahun.
Program RSBI se Kota Semarang dan di SMA Negeri 3 Semarang khususnya selama 5
tahun banyak siswa mengalami keluhan karena Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) untuk mata pelajaran fisika yang tinggi yaitu 75. Selain itu penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar dalam pembelajaran fisika
membuat siswa lebih sulit memahami materi fisika. Hal tersebut menjadikan
melemahnya motivasi siswa dalam belajar (Arief, 2012)
Motivasi merupakan
suatu unsur yang penting dalam meningkatkan produktivitas bekerja dan berkarya.
Setiap bagian dalam pendidikan memerlukan pemahaman yang kuat tentang hubungan
antara hasil pekerjaan atau karya dengan dorongan individu dalam menyikapi
tindakannya terhadap pekerjaan atau bakal karyanya tersebut. Penelitian di
berbagai negara tentang kondisi sekolah, optimalisasi dalam menyusun
kesepakatan waktu, tenaga, dan usaha dipergunakan untuk meningkatkan
efektivitas dan efisiensi mengambangkan produktivitas individu sehingga penelitian tersebut dapat dipahami bahwa
memahami kepuasan kinerja sistem pendidikan yang berlaku dan motivasi individu
sebagai unsur penting dalam bekerja dan berkarya dapat meningkatkan
produktivitas serta prestasi dalam tubuh dunia pendidikan (Pardee, 1990).
Menurut Russell (dalam
Pardee, 1990) bahwa terdapat tiga hal yang digambarkan dalam memahami pengertian motivasi: (1) bahwa motivasi merupakan sumber kekuatan internal yang dapat diduga, (2) motivasi mampu memberikan energi bagi individu untuk melakukan tindakan, dan (3) motivasi mampu menjadikan individu menentukan arah tindakan. Menurut Merriam dan Webster (dalam Williams dan
Williams, 2012) motivasi
memiliki penngertian
yaitu suatu tindakan
atau proses berupa kekuatan, stimulus, pengaruh, mendorong maupun sesuatu yang bersifat seperti kebutuhan atau keinginan sehingga
menjadikan individu untuk bertindak. Palmer dkk (dalam Williams dan Williams tahun
2012) menjelaskan bahwa terdapat lima unsur utama yang memiliki dampak terhadap munculnya motivasi siswa dalam menempuh
pendidikan yaitu faktor siswa, guru, konten yang diajarkan, metode dalam menyampaikan konten serta peran lingkungan yang mendukung. Kelima unsur tersebut
menjadi faktor penting yang berdampak pada motivasi siswa dalam menempuh
pendidikan. Dukungan kelima unsur tersebut mendorong motivasi individu dalam
bertindak. Pada kasus tersebut dapat dilihat bahwa standar ketuntasan minimal
yaitu 75 dan menggunakan pengantar bahasa Inggris saat mata pelajaran fisika
menjadikan siswa siswi di SMA 3 Semarang sebagai Rintisan Sekolah Bertaraf
Internasional menyampaikan keluhannya. Kelima unsur tersebut sebagai hal perlu
dipertimbangkan menurut Palmer (dalam
Williams dan Wlliams, 2012) bahwa motivasi yang dimiliki siswa siswi merupakan suatu elemen penting yang diperlukan untuk sistem pendidikan yang berkualitas. Pembahasan makalah
ini akan menguraikan tentang motivasi dan pembelajar dalam menempuh pendidikan
sebagai elemen atau unsur penting yang harus diperhatikan dalam dunia
pendidikan. Memahami dan memperhatikan fungsi kelima komponen yaitu siswa,
guru, konten ilmu pengetahuan, metode atau proses serta dukungan lingkungan
menjadi aspek yang penting berkontribusi dalam motivasi (Williams dan Wlliams,
2012).
Oleh karena pembahasan
mengenai motif dan motivasi pembelajar dalam menempuh pendidikan menjadi elemen
penting dalam proses pendidikan maka pemakalah menguraikan pentingnya memahami
motivasi pembelajar dalam pendidikan.
B.
RUMUSAN
MASALAH
1.
Apakah yang dimaksut motif dan motivasi?
2.
Faktor – faktor apakah yang mempengaruhi
motivasi pada pembelajar?
3.
Seberapa penting peran motivasi pada
pembelajar ?
BAB
II
LANDASAN
TEORI
A.
PENGERTIAN
MOTIVASI dan MOTIF
Menurut Santrock
(2009), motivasi merupakan proses yang memberikan energi, mengarahkan dan
mempertahankan perilaku. Dengan demikian, perilaku yang termotivasi memiliki
kekuatan untuk berdaya, memiliki arah dan dapat dipertahankan.
Menurut Cherry (dalam Nukpe, 2012) memandang bahwa motivasi merupakan suatu proses memulai,
menuju dan mempertahankan perilaku yang berorientasi pada tujuan. Menurut Brennen (dalam Nukpe, 2012) mengungkapkan
bahwa motivasi merupakan kesediaan individu untuk berusaha meraih
pencapaian tertentu. Selanjutnya, menurut Guay dkk (dalam Nukpe, 2012) mengatakan bahwa motivasi
merupakan penjelasan yang mendasari munculnya perilaku.
Menurut Pintrich dan Schrauben dan Wolters dalam Garris, Robert dan James, 2002) bahwa kesediaan atau keinginan untuk
terlibat dan bertindak disebut motivasi. Donald (dalam Hadriana, Ismail dan Mahdum, 2013) mengatakan
bahwa motivasi
dapat dianggap sebagai pengarah untuk menghindari kegagalan. Motivasi dianggap sebagai perpanjangan dari proses
psikologis yang mendorong seseorang untuk melakukan tindakan. Pada prinsipnya, motivasi merupakan kekuatan untuk memenuhi kebutuhan biologis dan
tuntutan. Motivasi juga terkait dengan kepentingan dan stimulasi. Menurut Azizi Latif Yahya dan Jaafar Sidek
(dalam Hadriana, Ismail dan Mahdum, 2013) bahwa motivasi memiliki pengaruh yang
signifikan pada bidang pertumbuhan, perkembangan, proses belajar dan berprestasi. Motivasi adalah proses yang mendorong perilaku tertentu
untuk mencapai tujuan. Dalam
proses pembelajaran peran seorang guru harus mempertimbangkan berbagai motif tindakan perilaku
seseorang untuk mengukur perubahan, keinginan, kebutuhan dan tujuan. Motivasi yang tinggi akan memotivasi
seseorang untuk bekerja lebih keras untuk mencapai tujuan. Hal ini sejalan
dengan pendapat yang dinyatakan oleh Woolfolk (dalam Hadriana, Ismail dan Mahdum, 2013) bahwa motivasi disebut sebagai kekuatan
internal manusia yang membangkitkan, mengarahkan dan mengendalikan perilaku. Mohd Anizu & Siti Salwa (dalam Hadriana, Ismail dan Mahdum, 2013) menggambarkan motivasi sebagai kekuatan
yang membuat orang mengubah sikap, minat atau kegiatan.
Motif merupakan suatu hal yang mendasari manusia
untuk mengembangkan diri untuk mencapai suatu tingkatan tertentu, mengejar
tujuan dan hasil kehidupan yang positif melalui proses pembelajaran serta informasi
yang diterima dan kemudian disimpan dalam memori (Schultheiss dan KΓΆllner, 2008). Motif
memerlukan pekerjaan untuk dilakukan, apresiasi oleh orang lain, untuk
menunjukkan kemampuan pribadi, untuk menghadapi tantangan dan
sebagainya. Melalui motif yang kuat, siswa dapat belajar lebih keras dan
efektif mewujudkan tujuan yang akan dicapainya, guna memenuhi kebutuhan (Hadriana, Ismail dan
Mahdum, 2013)
Pengertian motif memiliki keterlibatan penting dalam merespon
secara afektif pada insentif (penghargaan dalam proses pendidikan bagi
pembelajar seperti penilaian guru, alat peraga yang menarik dan pelajaran yang
fantastis) dan disinsentif (kurangnya penghargaan pada pembelajar dalam bepro ses
menempuh pendidikan) (Schultheiss
dan KΓΆllner, 2008). Insentif dapat menjadikan siswa siswi lebih rajin dan
meningkatkan keinginannya lebih kuat untuk menguasai pelajaran. Suatu
pekerjaan atau bidang pekerjaan yang dilakukan akan lebih efektif apabila kekuatan
utama dan faktor yang mempengaruhinya teridentifikasi dan jelas. Misalnya,
ketika seorang mahasiswa dipuji oleh guru setelah presentasi yang baik, ini
akan menjadi simbol keunggulan. Insentif dapat memotivasi seseorang untuk
bertindak dan menuai hasil yang lebih baik. (Hadriana, Ismail dan Mahdum,
2013)
Schultheiss dan KΓΆllner berpendapat
pada penelitiannya bahwa motif yang dimiliki mempengaruhi dan mengarahkan
keinginan belajar pada pembelajar melalui stimulus yang diperoleh kemudian
diterapkan pada perilaku. Pengalaman afektif yang dialami tersebut memiliki
pengaruh pada pengembangan kompetensi pembelajar. Schultheiss dan KΓΆllner me-review
singkat dari penelitiannya bahwa substansi neurobiologis dalam pembelajaran
mengarahkan pembelajar dan memori dalam belajar dipengaruhi oleh motif.
Kepuasan motif yang mendorong individu mengejar
kesuksesannya menuju tujuan pribadi dalam hidup. Motif dalam diri individu
menunjukkan bukti yang mendukung dan berperang penting dalam kemajuan pembelajar
dalam pendidikan (Schultheiss dan
KΓΆllner, 2008).
Menurut Schultheiss dan KΓΆllner (2008) berbagai penelitian tentang
motif dalam enam puluh tahun terakhir telah difokuskan pada tiga kebutuhan yaitu
kebutuhan untuk berprestasi, memiliki kekuasaan dan kebutuhan afiliasi. Ketiga
kebutuhan ini menurut Schultheiss dan KΓΆllner Prestasi dipahami sebagai motif prestasi, motif untuk
berdaya dan motif afiliasi. Menurut
Schultheiss & Brunstein (dalam Schultheiss dan KΓΆllner, 2008) Motif prestasi yang kuat merupakan
hasil dari orang tua yang memberikan pola asuh dengan menuntut anak untuk
menghadapi tantangan belajar dan tetap memiliki sikap bersahabat mendampingi
anak menghadapi tantangan kesulitan belajar tersebut.
Menurut Gray & McNaughton (dalam Atkinson; Schultheiss dan
KΓΆllner, 2008) bahwa prestasi merupakan
dorongan yang berasal dari kepuasan yang diperoleh dari perasaan kemampuan maupun diperoleh dari hukuman yang diterima
atau bahkan keduanya. Menurut Schultheiss (2008) berdaya merupakan kekuatan yang
berupa kapasitas untuk meningkatkan atau menurunkan perilaku dari aspek fisik,
mental maupun emosional. Selanjutnya, yang ketiga adalah afiliasi. Motif
afiliasi ditandai dengan kecemasan tentang kepuasaan dari proses yang dijalani,
membangun sesuatu bersama, memeliharanya dan mengembangkan sikap positif dalam
menjalin hubungan dengan orang lain.
B.
PERSPEKTIF
ATAS MOTIVASI
Menurut Santrock (2009) perspektif psikologis yang
berbeda menjelaskan motivasi secara berbeda. Berikut masing – masing perspektif
memandang tentang motivasi :
1.
Perspektif Ilmu Perilaku
Menekankan pada penghargaan dan hukuman sebagai kunci
menentukan motivasi secara ekstrinsik siswa. Insentif merupakan suatu stimulus
atau kejadian positif maupun negatif dan berpengaruh pada motivasi siswa.
2.
Perspektif Humanistik
Menekankan kapasitas siswa untuk pengembangan
pertumbuhan pribadi dan diberikan kebebasan untuk memilih nasib sendiri –
sendiri. Perspektif ini diasosiasikan dengan teori kebutuhan hirarki kebutuhan
dasar Abraham Maslow dengan urutan berikut : kebutuhan paling dasar adalah
kebutuhan fisiologis, rasa aman, rasa cinta dan memiliki, harga diri serta
aktualisasi diri. Kebutuhan aktualisasi diri merupakan kebutuhan paling tinggi
yaitu untuk mengembangkan sepenuhnya potensi diri.
3.
Perspektif Kognitif
Menekankan pada pemikiran mengenai pembahasan
motivasi. Perspektif kognitif mengajukan konsep motivasi kompetensi. Motivasi
kompetensi merupakan gagasan bahwa orang akan termotivasi untuk menangani
lingkungan secara lebih efektif dan untuk memproses segala informasi secara
lebih efisien.
4.
Perspektif Sosial
Menekankan pada afiliasi atau hubungan adalah motif untuk
menjalin keterhubungan yang baik dengan orang lain. Siswa di sekolah dengan
dukungan hubungan interpersonal yang penuh perhatian akan memiliki sikap dan
nilai akademis lebih positif serta lebih puas berada di lingkungan sekolah.
C. JENIS - JENIS MOTIVASI
Menurut Hadriana, Ismail dan Mahdum (2013) terdapat dua jenis motivasi seperti yang diidentifikasi
oleh psikolog, yaitu motivasi instrinsik dan motivasi ekstrinsik. Menurut
Bruner (Hadriana, Ismail
dan Mahdum, 2013) motivasi intrinsik berupa kesukarelaan yang didorong oleh kesenangan, keinginan, minat dan faktor internal individu. Contohnya, siswa yang tertarik untuk belajar dan bersemangat untuk menguasai konten pembelajaran
maka siswa tersebut akan
belajar lebih keras dan selalu memiliki dorongan untuk menyelesaikan tugas
mereka. Motivasi intrinsik berkaitan dengan rasa ingin tahu dan dorongan batin untuk
mencapai tujuan belajar
di sekolah. Namun, tidak semua motivasi intrinsik diciptakan oleh
alam. Ada juga satu set motivasi intrinsik yang dibentuk oleh tujuan mendapatkan kesenangan pribadi
dan menyenangkan dalam memperoleh baru pengalaman belajar.
Siswa yang
didorong oleh motivasi intrinsik dapat dilihat oleh karakteristik dan
kecenderungan menghadapi tantangan proses belajar. Ketika siswa siswi banyak mendapatkan insentif dalam proses pembelajaran
maka siswa siswi tersebut memenuhi kecenderungan motivasi untuk kepuasan diri
bukan hanya mendapatkan nilai baik untuk mendapatkan pengakuan. Motivasi
instrinsik yang dimiliki digunakan untuk memecahkan masalah dan bukan mengandalkan bantuan guru (bimbingan). Seorang guru dalam proses pembelajaran harus
mampu melihat dan memahami potensi siswa siswi yang memiliki motivasi
instrinsik untuk
tujuan akademik. Guru harus mengambil keuntungan dari motivasi intrinsik siswa dengan menciptakan iklim belajar
memuaskan, menyediakan kegiatan pembelajaran pada pembelajar yaitu siswa
siswi dengan memberikan kesempatan belajar bagi para siswa. Sehingga siswa sisiwi akan melihat diri sendiri sebagai pribadi yang mampu untuk terhubung
pada pembelajaran yang sukses, mengembangkan perasaan positif akan mempengaruhi siswa untuk bekerja
dengan tekun untuk mencapai prestasi dan kelas lebih tinggi. Motivasi
intrinsik seperti pujian atau apresiasi tetap menjadi efektif karena ia bekerja sebagai dorongan dan
dukungan positif untuk siswa yang sudah memiliki motivasi instrinsik yang
berpotensi (Hadriana, Ismail
dan Mahdum, 2013).
Menurut Putih (dalam Palmer, 2005) yang membahas
tentang teori
motivasi intrinsik, seseorang akan merasa senang secara naluriah ketika belajar dan mendapatkan sesuatu yang baru atau berhasil menyelesaikan sebuah
tugas belajar. Hal
ini menciptakan perasaan percaya diri dan penguasaan yang memperkuat diri,
sehingga siswa siswi akan
lebih cenderung untuk terlibat dalam kegiatan pembelajaran di masa mendatang,
hanya untuk memperoleh kenikmatan
untuk berhasil. Menurut Deci dkk
(dalam Palmer, 2005) motivasi intrinsik umumnya dianggap lebih efektif dalam mempromosikan belajar dan
prestasi. Lepper dan Hodell (dalam Palmer, 2005)
berpendapat bahwa motivasi
intrinsik dapat ditingkatkan melalui memberikan tantangan, rasa ingin tahu, fantasi, dan mengatur kontrol selama memberikan
bimbingan dalam belajar.
Jenis motivasi kedua
adalah motivasi
ekstrinsik akan mengarahkan siswa untuk melakukan sesuatu yang
bermanfaat. Motivasi ekstrinsik tumbuh dari rangsangan eksternal untuk memindahkan
individu menjadi lebih menarik dalam kegiatan yang akan membawa manfaat besar
bagi dia. Motivasi ekstrinsik dapat dirangsang dalam bentuk sederhana
pujian, insentif, hadiah, nilai dan lingkungan yang kondusif dan iklim yang
mendorong siswa untuk belajar. Di dalam kelas, guru perlu mengetahui jenis penguatan yang akan digunakan
dan seberapa sering harus diberikan. Penguat dapat diberikan secara teratur,
seperti pujian sering atau ajakan dukungan. Menurut Kazdin (dalam Hadriana, Ismail dan Mahdum, 2013) penguatan akan lebih efektif jika secara
teratur diberikan pada keadaan awal belajar. Oleh karena itu, sangat baik untuk memberikan pujian dan dukungan terutama ketika siswa mulai belajar. Menurut Hofstede
(dalam Nukpe, 2012) berdasarkan pembagian jenis – jenis motivasi maka hal yang
diperhatikan memahami tentang motivasi siswa siswi yaitu pertama, memperhatikan
pula potensi motivasi siswa siswi baik secara motivasi intrinsik maupun
motivasi ekstrinsik sebagai hal yang penting untuk dipertimbangkan. Kedua,
memperhatikan pola interaksi atau hubungan interpersonal guru dengan siswa,
menerapkan menggunakan model tutor maupun model budaya dominan yang menekankan
terdapat jarak antara guru dengan siswa. Menurut Nukpe (2012) mengatakan bahwa
adanya motivasi menunjukkan
bahwa terdapat keselarasan
tentang
"kesetaraan-kedekatan" sehingga menciptakan keterhubungan. Keterhubungan
tersebut menjadi motivasi yang lebih kuat.
D. LIMA PROSES KOGNITIF (MOTIVASI)
Menurut Santrock (2009) terdapat lima proses kognitif mengenai motivasi baik
motivasi intrinsik maupun ekstrinsik.
1.
Teori Atribusi
Atribusi adalah faktor penyebab yang menentukan hasil.
Contohnya adalah siswa berkata,” Mengapa saya tidak berhasil memperoleh nilai
baik di kelas ini?”. Beberapa hal menyebabkan keberhasilan maupun kegagalan individu
dalam meraih tujuannya seperti kemampuan, usaha, kemudahan tugas,
keberuntungan, suasana hati dan adanya gangguan dari orang lain. Menurut
Bernard Weiner (dalam Santrock, 2009) terdapat tiga dimensi yang menyebabkan
munculnya atribusi yaitu lokus, stabilitas dan kemampuan mengendalikan. Lokus merupakan
penyebab internal maupun eksternal terhadap individu, stabilitas merupakan
tingkat pemikiran bahwa penyebab selalu stabil (contoh: mengalami kegagalan
setiap kali berusaha dan menganggap diri selalu sial karena kejadian tidak
menyenangkan terulang) dan kemampuan mengendalikan memandang bahwa individu
mampu mengontrol dan mengendalikan penyebab.
2.
Mastery
Motivation (Motivasi dalam menguasai sesuatu)
Merupakan sikap mental personal yang meliputi
kemampuan menguasai tugas tugas yang dibebankan, memiliki efek positif dan
berorientasi pada solusi penyelesaian dengan menyusun strategi strategi
tertentu dan pernah berhasil menggunakannya di masa lalu.
3.
Efikasi Diri
Merupakan keyakinan yang dimiliki oleh individu untuk
dapat menguasai situasi tertentu dan memberikan hasil positif. Contoh efikasi
diri berkeyakinan bahwa “ Saya bisa” dan keputusasaan adalah keyakinan bahwa
“Saya tidak bisa”.
4.
Penetapan Tujuan, perencanaan dan
pemantauan diri
Siswa yang memiliki tujuan melibatkan ego untuk
berjuang secara optimal mengevaluasi yang menguntungkan dan meminimalisirkan
yang tidak menguntungkan. Perencanaan untuk guru penting dilakukan untuk
memasukkan tujuan – tujuan pembelajaran yang berfokus pada tugas. Perencanaan
terhadap siswa juga dilakukan untuk siswa siswi memiliki dorongan dalam
merencanakan pencapaian tujuan para siswa tersebut. Siswa dapat diberikan
lembar pelaporan diri tentang kegiatan yang menjadi sebagai lembar pemantauan
diri dan bahan evaluasi sebagai bentuk pertanggungjawaban siswa tersebut
terhadap perilakunya.
5.
Ekspetasi
Menekankan pada keyakinan individu mengenai peluang
keberhasilan yang akan diraih.
E.
FAKTOR
YANG MEMPENGARUHI MOTIVASI
Palmer dkk (dalam
Williams dan Williams tahun 2012) menjelaskan
bahwa terdapat lima unsur utama yang berpengaruh terhadap munculnya motivasi siswa dalam menempuh
pendidikan yaitu faktor siswa tersebut, guru yang memberikan pengajaran, konten yang diajarkan,
metode dalam menyampaikan
konten (proses belajar mengajar) serta peran lingkungan yang mendukung. Misalnya, siswa harus memiliki
kemampuan mengakses ilmu pengetahuan sehingga berdampak pada prestasi dan nilai pendidikan. Selanjutnya guru harus diberikan pelatihan dengan baik sehingga mampu fokus dan mengarahkan proses pendidikan menjadi berdedikasi.
Guru harus bersikap responsif terhadap para siswanya serta
menjadi inspirasi atau teladan yang baik. Selanjutnya suatu konten pembelajaran harus akurat, tepat waktu dan berhubungan
dengan kebutuhan siswa saat ini dan masa depan. Metode atau proses dalam menerapkan
sistem pendidikan
harus inventif, mendorong, menarik, bermanfaat, dan menyediakan alat-alat yang dapat
diterapkan untuk kehidupan nyata siswa. Lingkungan yang mendukung mudah
untuk diakses,
aman, positif, dan mampu memberdayakan potensi pendidikan. Kelima unsur tersebut menjadi
faktor penting yang berdampak pada motivasi siswa dalam menempuh pendidikan.
Dukungan kelima unsur tersebut mendorong motivasi individu dalam bertindak.
Menurut Boshier, Morstain dan Smart ( dalam Merriam dan Caffarella; Roger 2009) terdapat
enam faktor yang berpartisipasi mempengaruhi motivasi individu dalam belajar
yaitu :
1. Hubungan sosial. Adanya hubungan sosial
membuat individu menjalin interaksi sosial dengan teman-teman dan bertemu orang
lain.
2. Harapan eksternal. Motivasi juga
dipengaruhi oleh kesesuaian dengan otoritas keinginan orang lain dalam
menentukan suatu hal.
3. Kesejahteraan sosial. Kesejahteraan
merupakan keinginan untuk melayani orang lain dan atau masyarakat demi
mewujudkan keinginan untuk membahagiakan orang lain sebagai bentuk pengabdian.
4. Profesional Kemajuan. Keinginan untuk lebih
memajukan peningkatan pekerjaan atau berkarya lebih profesional.
5. Stimulasi: untuk mengurangi kebosanan dan
/ atau untuk melarikan diri rumah atau rutinitas kerja.
6. Tujuan kognitif: belajar demi belajar itu
sendiri.
Merriam &
Cafferella menyatakan bahwa studi motivasi berfokus pada perspektif psikologi yang telah mengkategorikan hambatan pembelajaran terjadi karena faktor
situasional (tergantung
pada situasi seseorang pada waktu tertentu), kelembagaan (semua praktek dan prosedur yang mencegah orang dewasa dari
partisipasi), disposisional atau
psikososial (orang sikap tentang diri dan belajar) dan informasi (orang tidak menyadari pendidikan kegiatan yang tersedia). Kategorisasi
lebih didasarkan pada struktur sosial yaitu kondisi geografis,
faktor demografi, kondisi sosial-ekonomi dan pendidikan dan kebudayaan. Pada faktor kondisi geografis berkaitan dengan
pembagian wilayah yaitu antara
perkotaan, pinggiran kota dan pengaturan pedesaan dalam kaitannya dengan kesempatan
pendidikan. Faktor demografi meliputi umur dan jenis kelamin, yang mempengaruhi yang berpartisipasi dan
tidak berpartisipasi dalam pembelajaran orang dewasa. Faktor kondisi sosial ekonomi dan pendidikan berhubungan
dengan latar belakang seseorang dan tempat dalam masyarakat. Penentu
budaya biasanya menghalangi kelompok minoritas untuk berpartisipasi kurang dari
kelompok mayoritas pada pembelajaran orang dewasa (Roger, 2009)
Teori selanjutnya
adalah faktor yang mempengaruhi motivasi terdiri dari tiga komponen yaitu
komponen harapan, komponen nilai dan komponen afektif.
1. komponen harapan merupakan faktor yang
mempengaruhi motivasi dengan keyakinan siswa tentang kemampuan siswa untuk
melakukan tugas dan menyelesaikan tugas.
2. komponen nilai merupakan faktor yang
mempengaruhi motivasi sebagai komponen yang mencakup tujuan dan keyakinan siswa
tentang pentingnya tugas bagi siswa tersebut.
3. komponen afektif merupakan faktor yang mempengaruhi
motivasi yang meliputi reaksi emosional siswa menerima dan mengerjakan tugas (Pintrinch
dan Elisabeth, 1990).
F.
PERAN
MOTIVASI PADA PEMBELAJAR
Berdasarkan pada
kasus keluhan siswa siswi Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional di SMA 3
Semarang mengenai siswa siswi yang kesulitan menggunakan bahasa pengantar mata
pelajaran bahasa Inggris dan tuntutan nilai KKM minimal 75 menjadikan siswa
siswi merasa keberatan mengikuti mata pelajaran fisika. Hal tersebut
dikarenakan motivasi siswa siswi yang menurun sebagai pembelajar. Pada
penelitian yang dilakukan oleh Meizuvan Khoirul Arief, Langlang Handayani, Pratiwi
Dwijananti pada tahun 2012 di SMA
Negeri 3 Semarang bahwa fenomena tentang motivasi siswa siswi yang kurang
karena kesulitan belajar fisika khususnya dalam hal penguasaan konsep bahwa
guru memiliki peran yang sangat kuat saat menerapkan metode belajar (Arief,
2012). Berdasarkan penelitian ini mendapatkan dukungan dari teori yang
diungkapkan oleh Palmer dkk (dalam Williams dan Williams tahun 2012)
bahwa kelengkapan unsur siswa, guru, konten yang diajarkan, metode dalam menyampaikan konten serta peran lingkungan yang saling
mendukung akan meningkatkan motivasi pembelajar.
Seorang guru dalam proses
pembelajaran yang mampu melihat dan memahami potensi motivasi intrinsik siswa
siswi. Guru harus
mengambil keuntungan dari motivasi intrinsik siswa dengan menciptakan iklim belajar
memuaskan, menyediakan kegiatan pembelajaran pada pembelajar yaitu siswa
siswi dengan memberikan kesempatan belajar bagi para siswa. Sehingga siswa sisiwi akan melihat diri sendiri sebagai pribadi yang mampu untuk terhubung
pada pembelajaran yang sukses, mengembangkan perasaan positif akan mempengaruhi siswa untuk bekerja
dengan tekun untuk mencapai prestasi dan kelas lebih tinggi. Motivasi
intrinsik seperti pujian atau apresiasi tetap menjadi efektif karena ia bekerja sebagai dorongan dan
dukungan positif untuk siswa yang sudah memiliki motivasi instrinsik yang
berpotensi (Hadriana, Ismail
dan Mahdum, 2013).
Lieberman (dalam
Schultheiss dan Kollner (2008) memiliki pendapat bahwa motif individu dan
lingkungannya berhubungan dengan dasar intuisi sosial dan hubungan interpersonal tidak hanya dengan guru dan siswa melainkan dengan
lingkungannya sehingga mempengaruhi perilaku dalam merespon sesuatu. Melalui gairah emosional ini terkait dengan rangsangan, motif juga
mempengaruhi pembelajaran tentang konteks situasional tersebut. Motif yang lemah membuat siswa siswi akan
merasa kesulitan sulit untuk belajar dan mengingat rangsangan (menyerap ilmu
pengetahuan atau konten pelajaran), berperilaku dan untuk hasil yang dicapai mengenai kesuksesan maupun kegagalan melibatkan sisi afektif
dari hubungan interpersonal. Siswa siswi merasakan hal yang sama merasa
kesulitan dalam mengikuti pelajaran fisika. Menurut Cantor dan Blanton (dalam Schultheiss dan Kollner (2008) sebagai akibatnya, orang-orang dengan motif yang
lemah dalam domain motivasi yang diberikan kurang mampu mengoptimalkan intuisi internal dan memerlukan secara eksplisit untuk mengembangkan dan mengimplementasikan rencana tindakan
saat mengejar gol tujuan.
Engeser &
Rheinberg (dalam Shernoff; Schultheiss dan Kollner (2008) mengungkapkan
bahwa lingkungan belajar memberikan pengaruh di lingkup pembelajar sehingga lingkungan belajar melibatkan motif
implisit siswa siswi menanamkan rasa yang senasib di kalangan pelajar. Lingkungan belajar memberikan dukungan
dan menyebabkan hasil
akademik lebih unggul.
Penelitian klasik yang
dilakukan oleh McKeachie (Schultheiss dan Kollner (2008) menunjukkan bahwa siswa yang berafiliasi secara sosial mampu termotivasi untuk mencapai nilai sangat baik di ruang kelas di mana guru memupuk kerja
kelompok dan jenis-jenis kolaboratif belajar. Kekuatan motivasi siswa siswi dari guru memberikan daya yang memungkinkan siswa siswi untuk menjalin keterhubungan dengan orang lain melalui diskusi kelas dan
kesempatan untuk membujuk yang lain supaya merasakan motif yang dirasakan
sehingga siswa – siswi yang termotivasi melakukan pencapaian prestasi secara optimal dalam menempuh
pendidikan.
Penelitian pendidikan terapan ditinjau oleh
Rheinberg dan Engeser (Schultheiss dan Kollner (2008) menunjukkan bahwa dengan menetapkan
dukungan yang sesuai, guru dalam menetapkan konten dan melaksanakan pembelajaran
dalam proses pendidikan dapat mengubah motif siswa. Guru yang menerapkan umpan balik kinerja pembelajar dengan membandingkan kinerja siswa siswi saat ini dengan kinerja sebelumnya dan menghubungkan kemunduran dalam proses
pembelajaran (evaluasi konten dan proses pembelajaran akan mendorong siswa siswi memiliki prestasi tinggi. Sebaliknya, guru yang menggunakan norma
dengan membandingkan kinerja siswa dengan siswa yang lainnya dan menghubungkan
kegagalan dan keberhasilan siswa siswinya maka kurang efektif untuk
pengembangan diri serta kemajuan prestasi siswa siswi. Pentingnya memperhatikan
guru memahami dan menerapkan keilmuan dalam proses pendidikan dengan melihat
kinerja siswa siswi antara sebelum dan sesudah mengikuti pembelajaran bukan
dengan cara membandingkan antar siswa siswi karena hal tersebut sangat
mempengaruhi motivasi pembelajar dalam proses pendidikan.
Menurut Crookes dan Schmidt (dalam Koltai, 2012) bahwa
memberikan pemahaman tentang keilmuan harus memperhatikan pembuatan kurikulum
dan sesuai dengan motivasi melibatkan empat hal. Empat hal tersebut adalah microlevel
identification, tingakatan kelas,
tingkatan kurikuler dan outdoor class. Microlevel identification merupakan
identifikasi dari tingkatan terkecil yaitu per individu, memahami lata
belakangnya dan lain lain. Memperhatikan tingkatan kelas sesuai dengan standar
tertentu yang telah disepakati sebagai standar pencapaian. Tingkatan kurikuler
yaitu meningkatkan motivasi dengan situasi yang menyenangkan dan sesuai dengan
minat siswa. Selanjutnya adalah outdoor class, membuat suasana bagi
pembelajar di luar kelas supaya lebih mampu melihat dan memperhatikan ilmu
pengetahuan secara lebih luas.
Berdasarkan
hasil penelitian (Hadriana, Ismail dan Mahdum, 2013) menunjukkan bahwa tingkat motivasi siswa dalam belajar
mandiri masih cukup tinggi. Oleh karena itu, perlu diberikan pemahaman yang lebih baik pada siswa untuk memiliki motif yang jelas dalam belajar, bersama-sama
dengan dukungan dari guru dengan menyampaikan konten pembelajaran
menggunakan metode yang memuaskan serta dukungan yang komprehensif dari lingkungan belajar. Penelitian oleh Azilah Arshad (dalam Hadriana, Ismail dan Mahdum, 2013) yang menunjukkan bahwa
pemikiran yang buruk ketika siswa belajar, siswa akan cenderung gagal untuk menekankan arah cara belajar
dengan cara yang benar. Berdasarkan penelitian ini terdapat temuan bahwa siswa tidak akrab dengan
budaya belajar mandiri, siswa lebih nyaman dengan sikap dominan guru dalam proses belajar mengajar,
sehingga siswa gagal mengoptimalkan motivasi instrinsik untuk terlibat dalam proses pembelajaran. Oleh karena itu, pengajaran dan pembelajaran situasi atau lingkungan bagi
pembelajar itu
sendiri harus memberikan kesempatan bagi tumbuhnya potensi siswa siswi dalam belajar.
Menurut
Habibah Elias (dalam Hadriana, Ismail
dan Mahdum, 2013) siswa
harus terlibat secara aktif dalam pembelajaran dan proses pengajaran karena potensi mereka akan gagal untuk tumbuh jika
mereka tidak sepenuhnya memanfaatkan untuk menerapkan keterampilan. Hal ini konsisten dengan pandangan yang
diberikan oleh Abedah Ismail dan Norhaini Abedah (dalam Hadriana, Ismail dan Mahdum, 2013) yang menekankan pada pentingnya lingkungan belajar sebagai
faktor pendorong untuk meningkatkan proses pembelajaran. Pada waktu
bersamaan adalah penting bagi guru untuk memberikan bimbingan yang tepat dan
dorongan, sehingga siswa dapat meningkatkan motivasi mereka dan semangat memperoleh informasi pembelajaran baru. Penelitian Abedah Ismail dan Norhaini Abedah ini
memiliki beberapa rekomendasi yaitu :
1. Sekolah harus menyediakan lingkungan bagi
siswa yang menyenangkan.
2. Kementerian Pendidikan harus melatih guru
menjadi kreatif untuk mendorong siswa melalui teknologi untuk meningkatkan
motivasi intrinsik dan ekstrinsik para siswa sehingga siswa dapat memberikan kontribusi
meningkatkan prestasi.
3. Guru harus membangun hubungan dengan siswa
dan memberikan bimbingan bagi mereka bagaimana melakukan belajar mandiri untuk
meningkatkan keterampilan siswa siswi.
Menurut Dickinson (1995) motivasi memiliki hubungan kausalitas dengan
keberhasilan dalam belajar. Ellis (dalam Dickinson,1995)
berpendapat bahwa motivasi
yang menghasilkan keberhasilan pembelajaran atau pembelajaran yang sukses yang
meningkatkan motivasi. Menurut Wang dan Palincsar (dalam Dickinson,1995)
menyatakan bahwa para siswa yang menerima
tanggung jawab untuk diri mereka sendiri mewujudkan keberhasilan maupun kegagalan
dalam belajar, keberhasilan meningkatkan persepsi diri mereka sendiri secara kompetensi sehingga meningkatkan motivasi
para siswa tersebut. Penelitian yang dilakukan oleh Deci dan Ryan (dikutip
oleh Harter dan Connell dalam Dickinson,1995) menyarankan bahwa "meningkatkan
pembelajaran akan memiliki efek tambahan yaitu lebih meningkatkan motivasi
intrinsik sehingga menciptakan semacam efek positif ". Para peneliti
kemudian berpendapat bahwa keberhasilan dalam belajar meningkatkan motivasi. Dweck
(dalam Dickinson,1995)
menekankan bahwa keberhasilan belajar saja
tidak cukup untuk membuat atau meningkatkan sikap motivasi yang produktif. Mengembangkan
dan meningkatkan motivasi produktif bagi peserta didik memerlukan prosedur
"menggabungkan tantangan, dan bahkan kegagalan dalam belajar ".
Selain itu, memerlukan penyebab yang mendasari motivasi. Misalnya,
mengajarkan para siswa untuk berupaya atau menyusun strategi menghadapi
kegagalan sehingga terbukti menghasilkan perubahan yang cukup besar dalam
ketekunan sebagai pembelajar. Bagi siswa yang kurang berhasil mengoptimalkan
motivasinya dapat dilatih untuk mengadopsi model yang lebih efektif membangkitkan
motivasi. Salah satu yang mengklaim banyak keberhasilan adalah proyek
penelitian Carnegie. Proyek ini bertujuan untuk meningkatkan motivasi anak-anak
sekolah dasar di St. Louis, Amerika Serikat. Metode penelitian eksperimental penelitian
ini melibatkan pelatihan guru dalam memotivasi yang kemudian dipergunakan guru
untuk mengajar anak-anak di kelas keenam dan ketujuh dan digunakan untuk
meningkatkan motivasi. Pelatihan motivasi bertujuan untuk membantu anak-anak
untuk mengurangi perilaku karena merasa kurang bersemangat. Melalui
pengembangan realistis dengan menetapkan tujuan, perencanaan, tanggung jawab
pribadi, perasaan penyebab pribadi dan rasa percaya diri membuat anak-anak
menyadari perasaan negatif terkait dengan motivasi diri (Dickinson, 1995).
Oleh karena itu Gardner pembahasan tentang motivasi berhubungan erat dengan pembelajaran
di kelas. Faktor utama yang sangat mempengaruhi motivasi adalah para siswa,
guru, kurikulum dan proses pembelajaran yang berkembang saat
mengimplementasikannya (Koltai, 2012).
BAB
III
A.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil dari beberapa jurnal tersebut dapat
disimpulkan bahwa motif internal dan eksternal pada siswa siswi harus dimobilisasi untuk mendukung
pembelajaran kegiatan belajar. Motif internal yang tinggi, didukung oleh lingkungan belajar yang kondusif akan menciptakan
iklim yang lebih baik dan mampu mendongkrak prestasi siswa. Hal ini disebabkan fakta bahwa siswa
belajar berdasarkan kebutuhan sendiri dan keinginan pribadi, bukan karena
dipaksa atau diarahkan oleh orang lain. Selain itu, penyediaan informasi dengan bantuan teknologi akan mempercepat
eksplorasi informasi sehinga siswa siswi mudah terlibat dalam proses belajar. Dengan demikian, ini relatif menciptakan
situasi belajar mengajar yang aktif, serta sebagai memberikan pengalaman bermakna
bagi siswa.
DAFTAR
PUSTAKA
Arief Dkk. (2012). Identifikasi
Kesulitan Belajar Studi Kasus Di RSMABI Se Kota Semarang. Unnes Physics Education Journal.
Vol 2, Hlm. 1-6
Arquero Dkk. (2009). Motives, Expectations,
Preparedness And Academic Performance: A Study Of Students Of Accounting At A
Spanish University. Journal Revista De Contabilidad-Spanish
Accounting. Vol 12, Hlm. 279 – 299
Dickinson, L. (1995). Autonomy And Motivation. Pergamon Journal.Vol 23, Hlm. 165 – 174
Garris Dkk. (2002). Games, Motivation, And Learning: A Research And
Practice Model. Simulation & Gaming
Journal. Vol 33, No 4, Hlm. 441 -467
Hadriana,
Mohd. Arif Ismail Dan Mahdum. (2013). The Relationship Between Motivations And
Self-Learning And The English Language Achievement In Secondary High School
Students. Asian Social Science; Vol.
9, No. 12, Hlm 1 -8
Nukpe,P. (2012). Motivation: Theory And Use In Higher Education. Investigations |
In University
Teaching And Learning Journal.Vol 8, Hlm. 11 -17 |
Palmer. (2005). A Motivational View Of Constructivistinformed Teaching.
International Journal Of Science Education. Vol. 27, No. 15, 16 December 2005,Hlm. 1853–1881
Pardee, R. (1990). Motivation Theories Of Maslow,
Herzberg, Mcgregor & Mccllelland. A Literature Review Of Selected Theories
Dealing With Job Satisfaction And Motivation. Educational Resources Information Center (Eric) Journal, Hlm. 1-24
Pintrich Dan Elisabeth. (1990). Motivational And
Self-Regulated Learning Components Of Classroom Academic Performance. Journal Of Educational Psychology. Vol
82, No. 1, Hlm. 33 – 40
Roger. (2009). Investigations In University Teaching And
Learning. European Society
For Research The Education Of Adults Journal. Hlm. 905 - 915 |
Santrock, JW. (2009). Psikologi Pendidikan = Educational Psychology. Jakarta : Salemba Humanika |
|
Schultheiss &
KΓΆllner. (2008). Implicit Motives, Affect, And The Development Of Competencies:
A Virtuous-Circle Model Of Motive-Driven Learning. Handbook Of Emotions And Education, Hlm. 1-41
Williams Dan Williams. (2012). Five Key Ingredients For Improving Student Motivation. Research In Higher Education Journal, Hlm. 1-23
Komentar
Posting Komentar