FEATURED POST

Versi Lengkap : Susunan Latar Belakang Masalah pada Bab 1

 



Hai sahabat psikologi kampus..


Home : Artikel update di Psikologi Kampus


Baca juga : 

Saat Dosen Menawarkan Judul Skripsi Yang Tidak Disukai Anda? Apa yang harus dilakukan ? 


Semua calon peneliti wajib baca ini πŸ‘‡

Kaidah dan Etika dalam menulis Karya Ilmiah



Kali ini admin akan membahas tentang Versi Lengkap Susunan Bab 1 Khususnya Pada Latar Belakang Masalah yang seringkali menjadi kunci diterima atau di tolaknya saat pengajuan proposal skripsi.

Susunan Bab 1 versi lengkap ini adalah susunan Latar Belakang Masalah pada saat skripsi dulu dan telah di acc terbit menjadi jurnal publikasi.

Isinya telah melalui beberapa kali revisi hingga disetujuinya setelah di revisi pasca sidang akhir ujian skripsi alias sudah di cetak dalam bentuk skripsi.


Ini menginspirasi buangeet ! mengerjakan skripsi hanya butuh waktu satu semester : klik di sini !


Baca juga : 

Rahasia di Balik Durasi Waktu Sidang Skripsi/ Tesis !!


Baca juga : FAKTA Alat Ukur/ Kuisioner mudah DI ACC DOSEN


Baca juga : Cara Menentukan Variabel Prediktor Pada Penelitian Korelasional


Baca juga : Tips MENCEGAH PIKIRAN NEGATIF Saat Mengerjakan SKRIPSI


Baca juga : Strategi Pencegahan Ganti Judul Skripsi


Yuk perhatikan baik baik, semoga dapat memberikan inspirasi bagi pembaca..


LATAR BELAKANG MASALAH BAB 1 :


 

1. Pilih Fenomena/ Peristiwa/ Permasalahan Penelitian Yang Menjadi Daya Tarik-mu sebagai peneliti untuk melakukan penelitian πŸ‘‡


Dan ini kisah nyata admin dalam membuat "Judul Skripsi" dan menentukan variabel penelitian berdasarkan fenomena GAP : Klik Di Sini


Contoh pada penelitian ini adalah saya tertarik sekali dengan fenomena bullying yang terjadi pada tahap usia perkembangan kanak kanak, maka saya dapat memulai membuat latar belakang masalah dengan menjelaskan tentang Bullying . Karena penelitian saya tentang eksperimen maka saya memilih bullying sebagai variabel tergantung/ variabel terikat pada penelitian ini.


Fenomena GAP dan Research GAP yuk baca lagi :   klik di sini



Bullying adalah sebuah kata dalam bahasa Inggris yaitu bully  yang berarti menggertak atau dapat diartikan mengganggu orang yang lemah (Echols dan Shadily,1995). Anak – anak melakukan bullying terhadap orang lain, seperti menghina teman, meminta uang jajan teman bahkan sampai memukul apabila keinginannya tidak terpenuhi dan mengajak temannya untuk berkelahi sehingga menyebabkan dampak negatif secara fisik maupun psikologis terhadap korban (Siswati dan Widayanti, 2009). Menurut Maliki dkk dalam Hidayati (2012) perilaku bullying juga dilakukan di taman bermain (playground bullying). Anak – anak yang melakukan hal – hal tersebut dipahami oleh masyarakat sebagai anak yang bermasalah atau pembuat onar (Siswati dan Widayanti, 2009). Perilaku bullying bukanlah fenomena baru dalam dunia pendidikan. Perilaku bullying dapat dilakukan oleh siapapun, kapanpun dan dalam keadaan bagaimanapun (Goodwin, 2009). Menurut Banks dalam Saripah (2010) perilaku bullying terjadi setiap tujuh menit sekali dan mayoritas pelaku bullying melakukan perilaku bullying di lingkungan sekolah.  


Baca juga : Inspirasi judul tentang Covid 19

Baca juga : Fakta Mahasiswa Minta Judul 

Baca juga : Tips Mengatasi Pikiran Irasional 



2. Jabarkan Data Data Yang Membahas tentang Variabel Tergantun, Dimulai Dari Data Umum Ke Data Khusus πŸ‘‡

Akan lebih bagus jika data dimulai dari data internasional, data nasional kemudian data wilayah kemudian data di lokasi tempat yang akan diteliti oleh peneliti (bisa disampaikan hasil observasi dan wawancara awal supaya memang terlihat ada fenomena GAP di lapangan sehingga menarik untuk dilakukan sebuah penelitian.

Menurut Sekertaris Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) selama bulan Januari hingga April 2014 terdapat delapan catatan laporan kekerasan, yaitu dua kasus di SD (Sekolah Dasar), dua kasus di SMP (Sekolah Menengah Pertama) dan di SMA (Sekolah Menengah Atas). Data statistik KPAI menyebutkan terdapat peningkatan kasus kekerasan yang diterima oleh KPAI Nasional. Pada tahun 2010 terdapat 2.413, di tahun 2011 meningkat menjadi 2.508, di tahun 2012 meningkat 2.637, tahun 2013 bertambah tinggi yaitu 2.792 dan tahun 2014 sebanyak 3.339 kasus dan kasus kekerasan anak lainnya yang belum tercatat di KPAI . Beberapa kasus bullying sebagai bentuk kekerasan seperti penggencetan terhadap anak lain, memukul, menendang bahkan sampai menghilangkan nyawa. Hal ini menunjukkan belum tumbuhnya solidaritas, kasih sayang dan kebersamaan (Andina,2014).

Beberapa kasus bullying terjadi di beberapa wilayah di Indonesia seperti di Jakarta, Komisioner Bidang Pendidikan KPAI Susanto mengatakan bahwa terdapat kasus bullying di Sekolah Dasar di wilayah Kebayoran Lama, Jakarta Selatan. Bermula dari NAA usia 8 tahun dengan R yang berusia 8 tahun berkelahi dikarenakan R diejek dengan sebutan “babon dan gendut  sehingga NAA dipukul dan ditendang. NAA mengalami luka di bagian belakang kepala dan dada, dikarenakan NAA terluka cukup parah, akhirnya meninggal dunia (tribunnews;detik, 2015).

Selain itu fenomena bullying di Sekolah Dasar terjadi di Pasuruan, siswa kelas III yang bernama YW usia 9 tahun menderita sakit demam dan sakit dibagian kepala dikarenakan dipukul oleh teman – temannya di sekolah. Pengeroyokan terhadap YW dilakukan saat bermain di waktu istirahat. Menurut informasi yang didapatkan dari pihak sekolah, YW mengeluarkan kata – kata yang membuat teman – temannya menjadi tersinggung sehingga teman – temannya mendorong YW  hingga jatuh tersungkur dan kepala YW dibenturkan oleh teman – temannya ke besi (jpp, 2015).  Sedangkan di daerah Lahat CY yang berusia 9 tahun kelas V Sekolah Dasar mengaku bahwa ia ditusuk dengan pensil kayu dan pelaku mengancam akan membunuh CY. Hal ini bermula saat CY dipaksa memberikan uang jajan dan CY menolaknya sehingga ditusuk dengan pensil kemudian ditampar, dipukul dan ditendang oleh pelaku (tribunnews, 2015).

Fenomena bullying juga terjadi di Bukittinggi, seorang siswi kelas V Sekolah Dasar menjadi korban bullying berbentuk pemukulan secara berkelompok oleh teman – teman sekelasnya. Kasus tersebut bermula saat korban tidak mau memberikan uang jajan kepada salah satu pelaku sehingga membuat pelaku marah dan menganiaya korban kemudian hal tersebut diikuti oleh teman – temannya yang lain (mediajurnal, 2015). Kasus bullying juga terjadi di kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Siswa kelas V Sekolah Dasar di daerah Sanden, Bantul mengalami luka lebam si seluruh tubuhnya karena dipukul oleh teman – teman sekelasnya. Korban dipukul karena tidak mau meminjamkan permainan game yang dimilikinya (okezone, 2015).

Berdasarkan observasi dan wawancara yang dilakukan oleh peneliti di sebuah Sekolah Dasar Negeri Sindet, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta juga didapatkan data dari Kepala Sekolah bahwa siswa – siswi yang melakukan perilaku bullying berada di kelas III, IV dan kelas V. Berdasarkan wawancara tanggal 3 November 2015 dengan Guru Agama, kelas V yang dulunya sering melakukan perilaku bullying menjadi lebih patuh pada guru dikarenakan pernah ada seorang guru yang menangis dihadapan siswa siswi karena merasakan perilaku siswa – siswinya sudah keterlaluan. Hal tersebut membangkitkan rasa empati siswa – siswi kelas V sehingga siswa – siswi menjadi lebih bisa menghormati dan menghargai gurunya di kelas.

Menurut informasi terdapat siswa di kelas III melakukan bentuk bullying fisik seperti mencubit bahkan sampai berkelahi dan menyebabkan temannya terluka di bagian kepala (mengeluarkan darah). Di sisi lain, kelas IV dan kelas V lebih pada bentuk bullying secara verbal seperti mencemooh, mengintimidasi, mengejek pekerjaan orangtua teman yang berasal dari ekonomi yang lemah. Berdasarkan hasil observasi dan wawancara ditemukan bahwa anak yang memiliki kekuatan baik secara fisik, berasal dari keluarga yang kaya serta memiliki figur orangtua yang kuat (seperti: Ayah bersikap keras ketika di rumah) menjadikan anak membully teman- temannya. Hal tersebut didukung oleh teori Albert Bandura mengenai teori belajar sosial bahwa seseorang belajar melalui pengamatan dengan peniruan (modelling). Terdapat dua jenis pembelajaran melalui pengamatan. Pertama, belajar melalui pengamatan melalui kondisi yang dialami oleh orang lain dan yang kedua, belajar melalui pengamatan meniru model atau figur tertentu. Belajar sosial kedua ini dengan memperhatikan model yang memiliki suatu peran sebagai pemeran untuk ditiru. (Kaparang, 2013). >> Penjelasan ini ditambahkan setelah sidang akhir atas permintaan Dosen penguji supaya pembaca dapat lebih memahami fenomena berdasarkan teori bukan hanya asumsi peneliti.


Baca juga : bongkar pertanyaan sidang skripsi


Baca juga : tips mengatasi jenuh saat mengerjakan skripsi di era pandemi covid 19


3. Jelaskan masa perkembangan karakteristik subjek penelitian-muπŸ‘‡

Contoh pada penelitian ini adalah saya tertarik sekali dengan fenomena bullying yang terjadi pada usia kanak kanak maka penjelasannya adalah sebagai berikut

Masa usia perkembangan anak menurut Hurlock (1978) merupakan tahap usia berkelompok. Anak usia Sekolah Dasar pada usia perkembangan ini mencapai kematangan dalam berhubungan sosial. Anak dalam menjalin hubungan sosial pada usia perkembangan usia ini ditandai dengan adanya perluasan hubungan yaitu dengan membentuk kelompok bersama teman sebaya ataupun teman sekelas. Anak memiliki kemampuan untuk menyesuaikan diri terhadap orang lain dengan sikap membentuk kerjasama, memperhatikan kebutuhan maupun kepentingan orang lain. Menurut Yusuf (2002) anak dapat mengembangkan kemampuan bekerjasama dalam pembelajaran di sekolah dengan mengerjakan tugas berkelompok. Tugas yang dikerjakan secara berkelompok dapat memberikan kesempatan kepada anak untuk berprestasi dan mencapai tujuan bersama sehingga anak menjadi terbiasa bekerjasama, saling menghormati, bertenggang rasa serta bertanggung jawab. Hal tersebut menunjukkan bahwa  anak memiliki keinginan untuk menyesuaikan diri dan disetujui kelompoknya.

Menurut Hurlock (1980) anak mewujudkan keinginan untuk dapat diterima dalam kelompok dan  menjadi tidak puas apabila anak tidak bersama dalam kelompoknya. Menurut Goodwin (2009) ketika anak berada di lingkungan kelompok yang dapat menimbulkan perilaku bullying anak akan menjadi terstimulasi untuk menjadi pelaku bullying. Pada usia perkembangan anak, anak akan mempelajari perilaku agresi. Perilaku agresi yang dilakukan adalah perilaku yang dapat diterima sehingga tidak akan memperhatikan bahwa perbuatan tersebut mengandung kebenaran atau kesalahan secara keseluruhan dan akhirnya menjadi orang dewasa yang tumbuh dengan kekerasan (abusive adults).

Anak yang melakukan bullying tidak selalu memahami bahwa perilaku mereka merupakan bentuk bullying pada orang lain. Banyak kasus anak – anak yang menjadi pelaku bullying tidak memahami arti dari perilaku bullyingnya tersebut. Anak – anak dalam pergaulannya melakukan tindakan menghina, mempermalukan atau mengisolasi anak yang lain tanpa menyadari bahwa yang dilakukannya tersebut akan memberikan dampak negatif terhadap korbannya.

Proses interaksi anak usia sekolah dasar dengan orangtua maupun guru juga dapat menimbulkan  perilaku bullying. Menurut Yusuf (2002) anak memiliki kemampuan untuk mengontrol emosi dikarenakan meniru dari orangtua maupun guru. Anak dalam proses meniru sangatlah berpengaruh. Apabila anak berada dalam lingkungan yang stabil maka emosi anak cenderung stabil. Akan tetapi, apabila kebiasaan orangtua atau guru mengekspresikan emosi kurang stabil maka emosi tersebut akan mempengaruhi anak dalam mempengaruhi sikap agresif seperti perilaku bullying.


Baca juga :

*. Cara Buat JUDUL !!

*. Supaya NGGAK GANTI JUDUL 

*. YAKIN Buat JUDUL Tapi Masih BINGUNG Buat JUDUL !!

*. Yang dilakukan ketika sudah menyerah buat Judul !! .



4.  Pelajari dengan baik faktor faktor yang mempengaruhi variabel tergantung penelitian-muπŸ‘‡

Beberapa sebab yang menyebabkan seseorang menjadi pelaku bullying namun menurut Goodwin (2009) hal yang mendasari seorang anak menjadi pelaku bullying dikarenakan anak merasa puas ketika melakukan perilaku bullying dan keyakinan yang terdapat dalam diri pelaku bahwa perilaku bullying sah untuk dilakukan. Menurut Sari dkk (2015) pelaku merasa puas dan mengungkapkan bahwa melakukan tindakan bullying adalah hal yang menyenangkan. Menurut Usman (2013) faktor individual, hubungan keluarga, kelompok teman sebaya dan sekolah berkontribusi pada siswa dalam berperilaku bullying. Selain itu, faktor yang menjadi penyebab perilaku bullying menurut Lagerspetz, BjΓΆrkquist, Berts, dan King serta Olweus adalah dikarenakan kriteria korban yang menjadi sasaran pelaku bullying seperti yang diungkapkan sebagai berikut: target perilaku bullying memiliki karakteristik sebagai korban karena terlihat lebih cemas daripada siswa secara umum (Sercombe dkk, 2013).


Baca juga : 

Cara membuat rumusan masalah yang menarik bagi Dosen


     Baca juga :

Cara cari variabel penelitian kuantitatif lebih dari dua variabel terikat


Baca juga : 

Cara Mencegah Plagiarisme dan Bisa Cek Gratis karya ilmiah Anda di sini bisa bentuk file maupun url



5. Jelaskan dampak variabel tergantung yang terjadi pada  penelitian-muπŸ‘‡

Perilaku bullying memiliki dampak bagi korban maupun pelaku. Penelitian yang dilakukan Prasetyo tentang bullying dan dampaknya bagi masa depan anak menunjukkan bahwa dampak negatif jangka pendek dari korban bullying ini dapat menimbulkan perasaan tidak aman, terisolasi dari lingkungan, perasaan harga diri yang rendah dan menarik diri. Sedangkan dampak negatif jangka panjang korban bullying dapat menderita masalah emosional dan perilaku, mengalami gangguan psikologis yang berat seperti depresi atau menderita stres yang dapat berakhir dengan bunuh diri (Pambudhi dkk, 2015). Menurut Goodwin (2009) anak – anak yang menjadi korban bullying memiliki perasaan bahwa dirinya tidak berharga sehingga akan selalu menyalahkan dirinya sendiri. Sedangkan pelaku bullying memiliki kekurangan dalam kemampuan empati seperti ketidakmampuan untuk menghargai emosional dan perilaku mereka terhadap perasaan orang lain. Sedangkan pada pelaku akan menumbuhkan perasaan yang arogan dan merasa lebih kuat dari yang lain sehingga pelaku menjadi pribadi yang tidak mengenal tenggang rasa dan welas asih. Padahal, hal tersebut sangat dibutuhkan dalam interaksi kelompok (Andina,2014).

Menurut Debra dalam Sari dkk (2015) mengatakan bahwa pelaku bullying adalah korban dari perilaku bullying dikarenakan pelaku yang tidak mendapatkan penanganan dan terbiasa melakukan perilaku bullying akan memiliki kecenderungan untuk terlibat dalam tindakan kekerasan bahkan perilaku negatif lainnya saat proses tumbuh kembangnya dari anak – anak menuju dewasa. Menurut Banks dalam Saripah (2010) dampak negatif perilaku bullying dapat bertahan sepanjang waktu dan korban terkadang memilih bunuh diri karena depresi yang dialaminya.

Permasalahan psikologis manusia dapat berakar dari masa lalunya, tepatnya tahap perkembangan usia anak- anak. Perilaku bullying menjadi hal yang biasa dilakukan oleh anak-anak sehingga perasaan empati dan rasa iba terhadap orang lain tidak terwujud (Goodwin, 2009). Nilai-nilai kebaikan yang seharusnya dimiliki oleh anak-anak sebagai bibit penerus bangsa kini mulai pudar sehingga perlu adanya pengarahan dan membimbing generasi penerus bangsa khususnya anak-anak supaya menjadi generasi bangsa yang berkarakter dan berkepribadian baik.


Baca juga : 

Fakta Menarik Tentang Dosen Pembimbing Anda 


Baca juga : Berbagi pengalaman sampai akhirnya nemu Judul Skripsi



6.  Berikan penjelasan tentang variabel bebas  dan sesuaikan dengan alasan utama-mu melalukan penelitian πŸ‘‡

Tentunya berdasarkan teori yaa 😁

Jangan hanya beralasan menurut logika Anda sebagai peneliti karena melakukan penelitian kan ilmiah masak iya hanya bermodal masuk logikaa aja hihi.. Intinya jangan hanya menyampaikan asumsi tapi juga harus dikuatkan dengan teori.

Alasan peneliti menggunakan terapi empati dikarenakan peneliti mengupayakan kesehatan tumbuh kembang anak, baik secara fisik maupun psikologis berdasarkan peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2014 bagian kelima pasal 28 nomer 2 bahwa agar setiap anak memiliki sehat, keterampilan sosial yang baik, tumbuh dan berkembang secara harmonis dan optimal menjadi sumber daya manusia yang berkualitas. Selanjutnya bagian keenam tentang perlindungan kesehatan anak pasal 35 bahwa untuk memenuhi terjaminnya hak – hak anak, memberikan perlindungan kepada anak dari kekerasan dan diskriminasi, demi berkualitas, berakhlak mulia dan sejahtera.

Peneliti menggunakan terapi empati untuk menurunkan perilaku bullying sesuai dengan penelitian sebelumnya. Studi di luar negeri yang dilakukan oleh Stanbury dkk (2009) dari Amerika Serikat pernah melakukan penelitian tentang "The Effects Of An Empathy Building Program On Bullying Behaviour. Abstrak dalam jurnal membahas tentang pengembangan, implementasi dan menghasilkan bahwa program pembangunan empati memiliki efek positif terhadap penurunan perilaku bullying. Hasil yang lebih terdapat pada anak perempuan daripada anak laki – laki. Anak perempuan merasa lebih sensitif merasakan perasaan orang lain. Dalam penelitian Stanbury dkk (2009) subjek menjadi berkurang melakukan perilaku bullying sehingga program pembangunan empati ini mampu mengurangi perilaku bullying.

Menurut Yusuf dan Fahrudin (2012) terdapat program pencegahan bullying dengan menyampaikan pesan bahwa perilaku bullying tidak dapat diterima di sekolah. Program pencegahan bullying menggunakan kepedulian dan memahami perasaan orang lain. Penelitian selanjutnya oleh Saripah (2010) model konseling dengan empati menunjukkan hasil yang efektif untuk menurunkan perilaku bullying pada siswa usia sekolah dasar. Penelitian Lestari (2013) dan Saripah (2010) menggunakan aspek kognitif dan afektif dari empati dalam proses konseling sehingga secara efektif menurunkan agresi perilaku bullying. Flora (2014) menggunakan metode role playing melalui konseling kelompok dan Afriana (2013) juga menggunakan konseling kelompok untuk mengurangi perilaku bullying. Penelitian tersebut terbukti memiliki efektif  mengurangi perilaku bullying ketika melibatkan faktor empati dalam proses konseling.



Baca juga : variabel perancu dalam skripsi !!


Baca juga : Inspirasi judul tentang Covid 19


Baca juga : Full Skripsi Hanya 6 Bulan !  


Baca juga : tips membuat abstrak skripsi !!




7.  Berikan penjelasan tentang variabel bebas  yang Anda gunakan menjadi faktor penting yang mempengaruhi variabel tergantung penelitian-mu πŸ‘‡

Sampaikan beberapa teori penelitian penelitian penelito sebelumnya yang meneliti hampir mendekati sama dengan penelitian Anda.

Nah, penting loh menggunakan penelitian peneliti sebelumnya yang sama dengan kita sebagai penguatan penelitian kita. Harmonis kan 😍

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa empati menjadi faktor penting dalam proses konseling dan pekerjaan sosial lainnya. Klien yang mengalami empati dapat menghambat perilaku bullying, perilaku agresif serta kekerasan sebagai intervensi terapeutik (Ioannidou & Konstantikaki (2008); Mercer & Deynolds (2002); Gerdes & Segal (2009)). Berdasarkan hal tersebut maka kemampuan empati pada seseorang memiliki korelasi terhadap perilaku bullying.

Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Gini et.al (2006) pada 318 remaja sekolah menengah atas di North of Italia yang terdiri dari 142 perempuan dan 176 laki-laki menunjukkan bahwa pada laki-laki yang melakukan perilaku bullying secara signifikan berhubungan dengan rendahnya empati. Penelitian Sari dkk (2015) juga menunjukkan bahwa empati berkaitan dengan perilaku bullying yaitu semakin tinggi level empati seseorang maka semakin kecil kemungkinan seseorang tersebut menjadi pelaku bullying. Penelitian Sari dkk ini diperkuat oleh teori D. Jollife dan Farrington Sari dkk (2015) bahwa empati berkaitan erat dengan perilaku prososial atau perilaku menolong.

Pentingnya peneliti menggunakan terapi empati dalam penelitian ini dikarenakan beberapa penelitian menemukan bahwa empati memberikan pengaruh pada penurunan perilaku bullying. Selain itu, pada penelitian sebelumnya telah ditemukan bahwa terdapat hubungan antara empati dengan perilaku bullying. Menurut penelitian Sari dkk (2015) dan Goodwin (2009) dikarenakan pelaku yang sebenarnya memiliki rasa kasihan terhadap korban bullying mengesampingkan perasaan kasihannya terhadap korban dan lebih mementingkan kepuasaan dalam diri pelaku dalam melakukan perilaku bullying. Menurut Goodwin (2009) pelaku bullying memiliki kekurangan dalam kemampuan empati seperti ketidakmampuan untuk menghargai emosional dan perasaan orang lain sehingga tidak seharusnya perilaku bullying dipandang sebagai bagian yang normal dalam proses tumbuh kembang anak.

Selanjutnya, dikarenakan menurut beberapa penelitian seperti di Amerika pada school bullying statistics menunjukkan bahwa 85% kasus bullying tidak dihentikan oleh tenaga pendidik dan tenaga pendidikan (Andina, 2014). Menurut Hidayati (2012) fenomena di masyarakat menunjukkan bahwa perilaku bullying terkesan “diremehkan” sehingga mengesampingkan dampak negatif bullying. Berdasarkan wawancara terhadap Guru Kelas di Sekolah Dasar Negeri Sindet, Bantul juga ditemukan bahwa guru-guru baru akan menangani kasus bullying di sekolah apabila anak sudah melakukan bentuk bullying secara fisik seperti berkelahi atau memukul temannya.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Argiati (2010) yang meneliti tentang perilaku bullying pada siswa SMA di Yogyakarta menemukan bahwa sebagian besar siswa berusaha untuk membalas perlakuan pelaku bullying sebanyak 49,56%, memaklumi tindakan pelaku bullying 35,4% dan diam karena merasa tidak berdaya 30,94%. Sebagian anak melarikan diri dari pelaku 16,81% dan anak yang menuruti keinginan pelaku bullying karena takut diperlakukan lebih buruk sebanyak 5,31%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perilaku bullying merupakan suatu masalah yang serius dengan dampak negatif yang dapat ditimbulkan. Menurut Banks dalam Saripah (2010) pelaku bullying memerlukan pendampingan lebih dari orang dewasa, agen pemerintah serta pelayanan kesehatan mental. Dengan demikian, pentingnya penanganan kasus bullying juga diperlukan dikarenakan 24,60 % anak yang melakukan perilaku bullying tercatat sebagai pelaku kriminal di masa dewasa.

Selanjutnya, penelitian yang telah dilakukan oleh Sari dkk (2015) menemukan bahwa ketika pelaku bullying melakukan perilaku bullying, pelaku bullying mengungkapkan bahwa pelaku sebenarnya memiliki perasaan kasihan ketika melihat korbannya menangis atau panik namun karena lebih banyak merasakan perasaan senang dan puas ketika melakukan perilaku bullying maka pelaku secara berulang melakukan perilaku bullying tersebut pada waktu dan kesempatan yang berbeda. 


Baca juga : 

beberapa kesalahan dalam membuat proposal skripsi


Baca juga : cek plagiarisme GRATIS



8.  Berikan kesimpulan tentang alasan ter-kuat-mu mengapa ingin melalikan penelitian ini πŸ‘‡

Untuk itu peneliti ingin meneliti tentang pelaku bullying khususnya anak-anak yang melakukan perilaku bullying. Peneliti menggunakan terapi empati sebagai upaya kuratif  perilaku bullying pada tahap perkembangan usia anak – anak.

Oleh karena itu, berdasarkan hasil kajian literatur maka peneliti menggunakan pendekatan terapi empati untuk menurunkan perilaku bullying pada anak usia sekolah dasar.


Nah, selamat yaaaa..

Akhirnya Anda bisa membuat Latar Belakang Masalah yang isinya menarik dan mantap.. 

Semoga sukses dan lancar untuk pengerjaan skripsinya..

Jangan menyerah, karena skripsi akan berlalu maka dari itu mengerjakan skripsi secara mandiri tak akan pernah membuatmu menyesal.. Justru Anda akan bangga dengan proses jatuh bangun dan berpusing pusing ria menganalisis skripsi Anda.. Justru olahraga untuk sistem syaraf otak Anda.. Hal itu menjadikan sistem syaraf otak Anda lebih aktif dan energik hihi sama kalau kita rutin olahraga fisik pasti Kesehatan Fisik dan mental akan selalu terjaga.. Penambahan soft skill dan kompetensi tentunya dapat tumbuh dengan optimal dan berkembang menjadi luar biasa.


Baca juga : 

1. membuat latar belakang masalah skripsi


2. nyusun BAB 1, Gimana caranya 


3. mantap-kan BAB 2-mu ! 


4. Cara susun Bab 3


5. tips bab 4 dan bab 5 ACC


Salam sehat, semangat dan bahagia selalu dalam mengerjakan skripsi secara mandiri yaa.. 

Komentar