- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
FEATURED POST
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Asertivitas Bystander
terhadap Perilaku Bullying
Disusun Oleh :
Adinar
Fatimatuzzahro
Diajukan Kepada Pascasarjana
Universitas Islam Negeri Sunan
Kalijaga Yogyakarta
Untuk Memenuhi Sebagian Syarat
Memperoleh
Gelar Magister
Of Art (M.A)
Program Studi Interdisciplinary Islamic Studies
Konsentrasi
Psikologi Pendidikan Islam
YOGYAKARTA
2017
BAB I. PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Bank
data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Data menunjukkan bahwa perilaku
bullying yang dilaporkan ke KPAI
meliputi dua hal yaitu : jumlah korban dan jumlah pelaku bullying setiap tahunnya. Database korban bullying tahun 2013 sebanyak 96 kasus mengalami peningkatan di
tahun 2014 sebanyak 159 kasus dan di tahun 2015 sebanyak 154 kasus sedangkan
data sementara tahun 2016 sebanyak 81 kasus yang dialami oleh korban bullying. Selain mencantumkan kasus
korban bullying, KPAI juga menyatakan
dalam datanya tahun 2013 terdapat 63 kasus pelaku perilaku bullying di sekolah, meningkat setiap tahunnya menjadi 67 kasus di
tahun 2014, tercatat sebanyak 93 kasus di tahun 2015 dan di tahun 2016 data
KPAI menunjukkan 93 kasus. Kasus tersebut belum terhitung kasus-kasus perilaku bullying yang tidak dilaporkan pada
KPAI.[1]
Dampak bullying
yang diungkapkan oleh Olweus dalam karya Benitez & Fernando Justicia
mengungkapkan bahwa bullying yang
ditujukan untuk korban bullying dapat
menimbulkan kehilangan harga diri, kehilangan kepercayaan diri, merasa
terisolasi secara sosial bahkan menyebabkan menurunnya prestasi akademik.
Selain itu, dampak bagi korban bullying mengalami
masalah psikosomatik, kecemasan, depresi bahkan dapat mengarah pada
kecenderungan untuk bunuh diri.[2]
Bahkan
menurut Debra dalam penelitian Herly Novita Sari, Poeti Joefiani, dan Ahmad Gimmy Prathama Siswadi mengatakan
bahwa pelaku bullying juga merupakan
korban dari perilaku bullying yang
terkena dampaknya dikarenakan pelaku bullying
yang tidak mendapatkan penanganan segera dan telah terbiasa melakukan perilaku bullying akan memiliki kecenderungan
untuk terlibat dalam tindakan kekerasan bahkan perilaku negatif lainnya saat proses
tumbuh kembangnya dari masa transisi kanak – kanak menuju dewasa atau yang
sering disebut sebagai masa perkembangan remaja.[3]
Menurut
tokoh Hawkins, Pepler, dan Craig dalam penelitian Halimah menyatakan bahwa intensitas perilaku bullying
menjadi semakin meningkat dikarenakan adanya kehadiran orang lain yang
menyaksikan peristiwa atau tindakan bullying dan berada di lokasi saat
peristiwa terjadi. Kehadiran orang lain saat terjadi peristiwa bullying ini
disebut sebagai bystander. Bystander menjadi faktor penguat perilaku bullying pelaku bullying. Hal ini menguatkan intensitas perilaku
bullying karena secara otomatis
status sosial di kalangan sebaya meningkatkan popularitas pelakunya sebagai
individu yang memiliki pengaruh dan memiliki kekuatan yang berbeda daripada
yang lainnya karena melakukan bullying.[4]
Penelitian
yang dilakukan oleh Robert Thornberg dan Tomas Jungert dalam abstraknya menemukan bahwa bystander
jarang melakukan suatu tindakan yang menunjukkan kepekaannya secara sosial
seperti membela korban bullying. Bahkan penelitian ini menunjukkan data
sebanyak tiga ratus empat puluh tujuh remaja di Swedia menunjukkan bahwa remaja
sebagai bystander dalam peristiwa bullying menunjukkan bahwa moral
disengagement (peregangan moral)
berhubungan terhadap peningkatan intensitas perilaku bullying. Hal ini sangat tidak sesuai dengan nilai
moral di masyarakat bahwa ketika bystander melihat peristiwa bullying
seharusnya bertindak untuk menolong korban bullying
namun bystander hanya menjadi
pengamat saja.[5]
Bahkan
penelitian Trommsdorff dan lainnya tentang empati pada tahun 2007 yang kemudian
dituliskan dalam buku David Howe menyatakan bahwa penelitiannya sungguh
mengejutkan yaitu di Asia Tenggara seperti di Indonesia ini ketika melihat atau
menyaksikan kesulitan dan kesusahan yang dialami orang lain, masyarakatnya
hanya terpicu merasakan kesedihan saja dan merasakannya secara pribadi.
Masyarakat tidak terdorong untuk bertindak menolong sebagai perwujudan empati
terhadap orang lain yang sedang mengalami kesulitan atau kesusahan. Jadi,
individu lebih banyak merasakan tanpa melakukan tindakan untuk menolong orang
lain.[6]
Hal
ini sesuai dengan hasil penelitian Halimah bahwa sebanyak empat puluh delapan
siswa di Makassar yang melakukan penelitian tentang pengaruh persepsi mengenai bystander
terhadap peningkatan intensitas bullying menemukan bahwa kehadiran orang lain dalam peristiwa bullying antara pelaku dan korban bullying dapat meningkatkan intensitas
atau meningkatkan kemungkinan berulangnya perilaku bullying pada siswa.[7]
Bahkan
di Yogyakarta penelitian yang dilakukan oleh Argiati mengenai bullying di Sekolah Menengah Atas atau
Kejuruan menemukan bahwa sebanyak 35,4% memaklumi tindakan bullying. Selanjutnya sebanyak 30,94% ketika peristiwa bullying terjadi lebih memilih diam
tanpa melakukan tindakan apapun dikarenakan merasa tidak berdaya menghadapi
pelaku bullying. Bahkan berdasarkan
hasil penelitian sebanyak 16,81% siswa memutuskan untuk menghindari ketika
adanya peristiwa bullying. Pengamat
maupun korban bullying merasa takut
diperlakukan lebih buruk apabila melakukan suatu tindakan untuk menghentikan
atau berusaha mengatasi perilaku bullying.[8]
Pengamat
peristiwa bullying atau yang disebut sebagai bystander ketika terjadi peristiwa bullying saat pelaku bullying melakukan tindakan bullying akan
cenderung menimbulkan intensitas tindakan bullying pelaku bullying meningkat, hal ini dikarenakan bystander sebagai pengamat peristiwa
perilaku bullying akan segan untuk
menghentikan perilaku pelaku bullying
dan cenderung membiarkan perilaku bullying terjadi di sekolah.[9]
Hal
ini didukung oleh teori social
facilitation oleh Hazel Markus bahwa kehadiran orang lain dapat
mempengaruhi tindakan individu dikarenakan kehadiran orang lain merupakan suatu
kondisi yang cukup memfasilitasi secara sosial. Menurut Hazel bahwa kehadiran
orang lain memberikan penguatan terhadap perilaku individu. Penguatan yang
memberikan kekuatan ini dapat menimbulkan berbagai efek seperti : meningkatkan
perilaku mencederai, merampas hak orang lain dengan tindakannya bahkan bisa
dalam memberikan pujan dan memberikan bantuan. Kehadiran orang lain inilah yang
dapat menghasilkan social facilitation.
Menurut penelitian Hazel Markus bahwa kehadiran orang lain memiliki peranan
penting sebagai sumber rangsangan sosial bagi individu dalam berperilaku.[10]
Hal
pendukung juga terdapat dalam teori social
loafing yang diungkapkan oleh Richard Hildreth yaitu individu akan berperan
atau mengusahakan sedikit tindakan apabila dalam suatu kelompok yang lebih
besar. Karena dalam social loafing ini adanya kelompok yang lebih besar dapat
menurunkan potensi tindakan individu karena ukuran kelompok mempengaruhi usaha
individu untuk melakukan suatu hal. Penelitian Latané
pada tahun 1981 yang dijelaskan kembali oleh Richard Hildreth mengenai cara
memahami social loafing adalah dengan
memahami dampak sosial. Yang pertama, bahwa tindakan pada situasi tertentu
tergantung pada penekanan sosial dan jumlah orang lain yang terlibat dalam
suatu situasi. Kedua, dampak kekuatan individu dalam bertindak akan tumbuh
apabila disertai jumlah peningkatan orang lain. Ketiga, semakin banyak tindakan
dan aksi sosial yang diinginkan maka akan mempengaruhi juga tindakan dan aksi
sosial setiap individu. Memahami social loafing
berkaitan dengan efek pengamat suatu perilaku. Pengamat perilaku tertentu hanya
akan sedikit bertindak terhadap situasi tertentu dikarenakan individu sebagai
pengamat akan merasa dibebaskan dari suatu tanggungjawab dan kemungkinan kecil
untuk mengambil tindakan dalam situasi kritis yang tidak terduga sebelumnya.
Kurangnya kesadaran, keberanian dan kesediaan individu untuk merealisasikan
tindakannya pada siuasi tertentu dikarenakan masing – masing individu yang
menjadi pengamat telah memandang bahwa orang lain akan melakukan suatu tindakan
tertentu dalam situasi tertentu.[11]
Berdasarkan
teori social loafing tersebut
peneliti menyimpulkan bahwa individu yang berada dalam situasi saat terjadinya
peristiwa bullying di sekolah
sebenarnya memiliki keinginan untuk membantu namun karena kurangnya kesadaran,
keberanian dan kesediaan diri sehingga memandang bahwa orang lain di sekitar
lingkungan terjadinya situasi tersebutlah yang akan melakukan tindakan. Saat
terjadi peristiwa bullying bahwa
melihat korban di-bully sebenarnya
dapat memunculkan perasaan iba bahkan kasihan apalagi ketika korban berteriak
karena ketakutan, panik dan bahkan sampai menangis. Namun karena tidak berani
melawan atau bertindak untuk melakukan suatu pembenaran bahwa bullying tidak baik menjadi urung
dilakukan untuk menghentikan tindakan bullying
bahkan ada kecenderungan malah mengamati peristiwa bullyingnya.[12]
Hal
ini menggambarkan bahwa sebenarnya pengamat peristiwa bullying atau bystander memiliki rasa iba dan kasihan terhadap
korban namun karena tidak berani melawan atau bertindak untuk melakukan suatu
pembenaran bahwa bullying tidak baik
menjadi urung dilakukan. Hal ini menurut Syukri dan Zulkarnain tersebut tidak
mampu berperilaku asertif. Menurut kedua tokoh tersebut menjelaskan bahwa
individu memiliki kemampuan untuk berperilaku asertif dalam segala situasi dan
berkaitan dengan interaksi sosial bersama orang lain. Individu yang memiliki
perilaku asertif lebih percaya diri menyampaikan segala sesuatu,
mengaktulisasikan diri dengan berekspresi secara jujur, berani terbuka serta
berani untuk bertanggung jawab.[13]
Penelitian sebelumnya oleh Nicola
Abbott dan Lindsey Cameron menemukan bahwa penelitian ini menguji efek
komunikasi remaja dalam kelompok. Empati merupakan variabel yang potensial pada
penelitian ini. Subjek berjumlah 855 yang berusia 11-13 tahun dan menemukan
bahwa empati dapat mempengaruhi remaja di Inggris tersebut untuk berperilaku
asertif. Adanya empati
memberikan keterbukaan budaya dan bias yang terjadi dalam kelompok. Penelitian
ini meneliti tentang bullying di
sekolah - sekolah Inggris yang mencapai tingkat mengkhawatirkan dan merugikan
kinerja akademis kaum muda dalam bersekolah. Intimidasi antar kelompok dan ras
sangat tinggi dan dilakukan oleh pelaku bahkan bystander hanya bisa menyaksikan karena takut terkena bully juga sehingga tidak melakukan
suatu apapun meskipun dalam benak juga memiliki rasa iba atau kasihan.[14]
Taufik dalam penelitian Fikrie
menjelaskan bahwa pengamat peristiwa bullying
atau bystander menggunakan pikiran
maupun perasaannya untuk memaknai terjadinya peristiwa bullying. Hal yang dipikirkan dan dirasakan oleh bystander dipengaruhi oleh pemahaman
secara intelektual yang dapat menjadikan individu memiliki kemampuan berempati.
Apabila individu tidak mampu memahami hal yang dipikirkan dan dirasakan oleh
orang lain maka individu tersebut memiliki kemampuan berempati yang rendah
untuk terlibat membantu orang lain saat peristiwa bullying terjadi.[15]
Howe pun menyatakan bahwa ketika
individu mampu mengelola perasaan dalam suatu peristiwa atau situasi saat orang
lain dalam kesulitan dan kesusahan maka individu tersebut memiliki
kecenderungan berempati yang tinggi. Hal ini dikarenakan karena individu yang
memiliki kecenderungan empati akan segera melakukan tindakan untuk membantu
atau menolong orang lain yang sedang dalam kesulitan tersebut. [16]
Selain itu, menggunakan pendekatan
konseling berkelompok juga dapat meningkatkan asertivitas individu untuk
melakukan suatu tindakan tertentu. Hal tersebut dikarenakan pendekatan
konseling berkelompok memiliki tujuan yaitu mengembangkan kemampuan
bersosialisasi seperti : kemampuan berpendapat, berbicara di hadapan umum,
kemampuan menghargai orang lain, mampu mempertanggungjawabkan tindakannya,
mengakrabkan individu satu dengan lainnya, membahas permasalahan dan memecahkan
permasalahan tersebut demi kebaikan bersama serta mampu mengelola diri yaitu
mengendalikan tindakan serta emosional diri.[17]
DAFTAR PUSTAKA
Abott, N & Lindsey Cameron. (2014). What Makes a
Young Assertive Bystander? The Effect of Intergroup Contact, Empathy, Cultural
Openess, and In-Group Bias on Assertive Bystander Intervention Intentions, Journal of Social Issues, Vol 70, No 1
Argiati, SHB. (2010), Pengembangan
Model Penanganan Tindak Bullying pada Siswa SMA/ SMK Kota Yogyakarta,
Penelitian. Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Sarjanawiyata
Tamansiswa
Benítez, J.L & Fernando Justicia. (2006). Bullying: Description And Analysis Of The Phenomenon
(Dept. Of Developmental And Educational Psychology, University Of Granada, Electronic Journal of Research in Educational Psychology),
Vol 4, No. 2
Fikrie. (2016). Peran
Empati dalam Perilaku Bullying, Seminar Asean 2nd Psychology & Humanity:
Psychology Forum UMM
Halimah
A, dkk. (2015). Persepsi pada Bystander terhadap Intensitas Bullying pada siswa
SMP Fakultas Psikologi Universitas Negeri Makassar. Jurnal Psikologi, Vol. 42, No. 2
Hildreth, R.D. (2015). Strategies for Leaders to Counter
Social Loafing Through The Use of Organizational Citizenship Behavior : A
Literature Review, Journal The Compass,
Vol 1, No 2
Howe,
D. (2015). Empati,
Makna dan Pentingnya. Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Markus, H. (1978). The Effect of Mere Presence on Social
Facilitation : An Unobtrusive Test, Journal
Of Experimental Social Psychology, Vol 14
Prayitno. (1995). Layanan
Bimbingan dan Konseling Kelompok (Dasar dan Profil). Jakarta: Ghalia
Indonesia
Sari
H.N, Dkk. (2015). Pelatihan Meningkatkan Empati Melalui Psikoedukasi Kepada
Pelaku Bullying Sebagai Upaya Untuk Mengurangi Bullying Di Sekolah Menengah
Pertama. Jurnal Magister Psikologi
Profesi, Fakultas Psikologi Universitas Padjajaran
Syukri, M.R & Zulkarnaen. (2005). Asertivitas dan
Kreatifitas pada Karyawan yang Bekerja di Multi Level Marketing dalam Jurnal
Psikologia Vol 1, No 2
Thornberg,
R., & Jungert, T. (2013). Bystander
Behavior In Bullying Situations: Basic Moral Sensitivity, Moral Disengagement,
And Defender Self-Efficacy. Journal of Adolescence, Vol 3,
No.36
Sumber internet :
http://bankdata.kpai.go.id/tabulasi-data/data-kasus-per-tahun/rincian-data-kasus-berdasarkan-klaster-perlindungan-anak-2011-2016 diakses pada 3 September 2017 pukul 17:06 WIB
[1] http://bankdata.kpai.go.id/tabulasi-data/data-kasus-per-tahun/rincian-data-kasus-berdasarkan-klaster-perlindungan-anak-2011-2016
diakses pada 3 September 2017 pukul 17:06 WIB
[2]Benítez, J.L
& Fernando Justicia, Bullying: description and analysis of the
phenomenon (Dept. of Developmental and Educational Psychology, University of
Granada : Electronic Journal of
Research in Educational Psychology), 2006, Vol 4, No. 2, hlm. 159
[3]Sari
H.N, Dkk. (2015). Pelatihan Meningkatkan Empati Melalui Psikoedukasi Kepada
Pelaku Bullying Sebagai Upaya Untuk Mengurangi Bullying Di Sekolah Menengah
Pertama. Jurnal Magister Psikologi
Profesi, Fakultas Psikologi Universitas Padjajaran, hlm 2
[4] Halimah A, dkk, Persepsi pada
Bystander terhadap Intensitas Bullying pada siswa SMP (Fakultas Psikologi
Universitas Negeri Makassar : Jurnal Psikologi, 2015), Vol. 42, No. 2, hlm. 131
[5] Thornberg, R., & Jungert, T.
(2013). Bystander behavior in Bullying Situations: Basic Moral Sensitivity,
Moral disengagement, and defender self-efficacy. Journal of Adolescence, Vol 3, No.36, hlm. 475
[6] Howe, D, (2015),
Empati, Makna dan Pentingnya, Yogyakarta : Pustaka Pelajar,hlm 125
[7] Ibid.. hlm
129
[8] Argiati, SHB, (2010), Pengembangan
Model Penanganan Tindak Bullying pada Siswa SMA/ SMK Kota Yogyakarta,
Penelitian. Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Sarjanawiyata
Tamansiswa, hlm. 18
[9] Halimah A, dkk, Persepsi pada
Bystander terhadap Intensitas Bullying pada siswa SMP (Fakultas Psikologi
Universitas Negeri Makassar : Jurnal Psikologi, 2015), Vol. 42, No. 2, hlm. 133
[10] Markus, H.
(1978). The Effect of Mere Presence on Social Facilitation : An Unobtrusive
Test, Journal Of Experimental Social
Psychology, Vol 14, page 389
[11] Hildreth,
R.D. (2015). Strategies for Leaders to Counter Social Loafing Through The Use
of Organizational Citizenship Behavior : A Literature Review, Journal The Compass, Vol 1, No 2, page 2
[12] Sari H.N, Dkk. (2015). Pelatihan
Meningkatkan Empati Melalui Psikoedukasi Kepada Pelaku Bullying Sebagai Upaya
Untuk Mengurangi Bullying Di Sekolah Menengah Pertama. Jurnal Magister Psikologi Profesi, Fakultas Psikologi Universitas
Padjajaran, hlm 3
[13] Syukri, M.R
& Zulkarnaen, (2005), Asertivitas dan Kreatifitas pada Karyawan yang
Bekerja di Multi Level Marketing dalam Jurnal Psikologia Vol 1, No 2, hlm
52-59
[14] Abott, N
& Lindsey Cameron. (2014). What Makes a Young Assertive Bystander? The
Effect of Intergroup Contact, Empathy, Cultural Openess, and In-Group Bias on
Assertive Bystander Intervention Intentions,
Journal of Social Issues, Vol 70, No 1, page 167
[15] Fikrie,
(2016), Peran Empati dalam Perilaku
Bullying, Seminar Asean 2nd Psychology & Humanity: Psychology Forum
UMM,hlm 163
[16] Howe, D, (2015),
Empati, Makna dan Pentingnya, Yogyakarta : Pustaka Pelajar,hlm 125
[17] Prayitno.
(1995). Layanan Bimbingan dan Konseling
Kelompok (Dasar dan Profil). Jakarta: Ghalia Indonesia, hlm 179
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Komentar
Posting Komentar