FEATURED POST

Buah Hati Terangi Sanubari, Optimalisasi Potensi

 Tulisan singkat tentang kesehatan mental, pola asuh dan optimalisasi potensi :D



Kesehatan mental adalah hal yang sangat diidam idamkan setiap manusia yang memiliki cita-cita dan tujuan mulia dalam meraih impian dalam kehidupan. Kesehatan Mental yang baik dimulai manusia semenjak dalam kandungan. Kehidupan yang penuh dengan cinta dan welas asih akan terpola semenjak dalam kandungan hingga kelahiran dan sampai sepanjang rentang perjalanan manusia dalam kehidupan ini. Kesehatan mental untuk semua menuju Indonesia berkesadaran perlu dirawat dan dikembangkan sejak penerapan pola pengasuhan orangtua.  

Kesadaran bahwa diri memiliki segudang potensi dan cara aktualisasi yang berciri khas pun akan menjadikan pijakan lebih kuat bagi seseorang dalam menjalani rimbunnya aktivitas kehidupan. Namun, faktanya banyak nilai- nilai kehidupan yang dapat menjadikan seseorang terhambat memiliki ruang bagi diri memiliki kesehatan mental yang baik. Setiap individu sesungguhnya memiliki nilai tersendiri dan cara pandang terhadap sesuatu hal namun fenomena di lapangan banyak ditemukan pada diri tiap tiap manusia seringkali merasa terbelenggu ketika sudah berhadapan dengan apa yang namanya menahan emosi dan tidak menyampaikan emosi yang dirasakan untuk diluapkan menjadi suatu energi keterbebasan yang membuatnya saat ini dalam keterbelengguan. 

Keterbelengguan seringkali ditemukan fakta – fakta pada pola pengasuhan orangtua terhadap anak. Fakta tersebut dapat ditemukan dalam pola pengasuhan yang biasa disebut sebagai nilai ke-tawaduk-kan anak terhadap orangtua. Nilai tawaduk sesungguhnya mengandung makna positif dan tak ada yang salah sebenarnya dengan anak yang harus patuh dan nurut dengan orangtua namun kenyataannya seringkali nilai- nilai kehidupan tertentu yang dipandang oleh orangtua seringkali membuat anak tidak merasakan kenyamanan melakukan penerimaan akan pemberian dan arahan yang disampaikan oleh orangtua kepada anaknya. 

Fakta di lapangan bahwa ketika anak menyampaikan segala sesuatu yang menjadi haknya untuk menyampaikan argumentasi dan gagasan terdalam seringkali merasa terbelenggu dalam sanubari dan tak mampu tersampaikan pada tahap aktualisasi sehingga berdampak pada terhambatnya mengembangkan potensi diri. Ketika sang anak menyampaikan sesuatu yang dianggap bertentangan dan tidak sependapat dengan orangtua akan sangat terasa menyesakkan anak karena sang anak akan mendapatkan stigma yaitu anak yang tidak patuh dan tidak menghormati orangtua. 

Seringkali nilai nilai yang diterapkan oleh orangtua menurut orangtua sangat baik bagi anak namun belum tentu anak akan merasa nyaman dengan pengambilan keputusan yang diambil orangtua dan keputusan tersebut diterapkan pada anak. Memang dalam sudut pandang ini terkesan negatif, namun sangat penting sekali mengapresiasi apa yang ingin sekali diutarakan oleh anak, hak apa saja yang diungkapkan oleh anak, potensi apa sajakah yang ingin dilibatkan oleh anak pada proses pengambilan keputusan orangtua. Memberikan ruang bagi anak bahkan semenjak dari dalam kandungan dengan memberikan penawaran berbagai pilihan dan konsekuensi yang akan diterima oleh anak akan memberikan anak merasa lebih diberikan ruang terbuka, kebebasan dan kepuasan bagi diri anak sehingga anak akan dengan ikhlas menerima segala sesuatu yang menjadi pertimbangan yang akan diberikan oleh orangtua. Memberikan ruang bagi anak untuk menyampaikan aspirasinya menjadikan anak akan lebih merasa diterima oleh orangtua, anak akan merasa diberikan kepercayaan oleh orangtua sehingga dengan ketulusan hati anak dengan penuh lapang dada menerima sudut pandang yang dimusyawarahkan dengan orangtua. 

Lain halnya dengan anak yang kurang diberikan ruang gerak dan keterbukaan untuk menyempaikan aspirasinya akan memberikan dampak potensi yang terhambat karena anak akan merasa kurang percaya diri akan kemampuannya karena terbiasa terkungkung harus berjibaku dengan hal – hal yang cenderung kaku dan kurang dinamis, hal tersebutlah yang memunculkan sudut pandang negatif bagi anak hingga fase usia dewasa. Anak akan tumbuh besama dengan perasaan bersalah, merasa terbelenggu, kehidupan terasa sangat berat dan melelahkan, sudut pandang anak yang tadinya ingin sekali merasa bebas dan merasa memiliki banyak potensi akhirnya merasa menjadi diri yang tidak berharga dan tidak bermakna karena anak merasa memiliki keterbatasan untuk mengoptimalkan potensi yang dimiliki.

Anak merasa bahwa segala sesuatu yang dilakukan harus melalui persetujuan, jiwa merasa terancam apabila tidak mendapatkan persetujuan terutama dari orangtua. Keterbatasan yang dirasa bagi anak membuatnya merasa terkekang. Bahkan terhambatnya aktualisasi diri sang anak akan menghambat segala potensi anak karena anak merasa memiliki keterbatasan yang sangat sakral bagi dirinya. Bagi anak ketika orangtua memberikan kepercayaan dan ruang untuk mengaktualisasikan diri akan membuatnya dengan ringan hati untuk mencapai kebahagiaan dan mengoptimalisasikan potensi. Oleh karena itu, membangun kesehatan mental untuk semua menuju Indonesia berkesadaran menurut penulis dimulai dari keluarga dan anak dalam hal ini menjadi pusat perhatian yang sangat penting sebagai generasi penerus dan pemimpin bangsa Indonesia di masa depan. Maka dari itu, apabila sang anak memiliki hati yang terang dan ikhlas serta merasa dipercaya karena diberikan ruang keterbukaan orangtua akan menjadikannya bahagia dalam mengaktualisasikan diri dan optimalisasikan potensi diri. Buah hati terang sanubari optimalisasi potensi

Komentar